Kisah Ibuku; Simpang Jalan Kusuma, Crossroad Kusuma

Aku punya kisah sendiri yang tak pernah bisa aku lupakan seumur hidupku, terutama dengan ibuku, rumah pojok di jalan kusuma dan simpang tiga di depan rumahku.Aku ingat ketika itu pagi masih gelap, barangkali subuh baru saja berlalu. Jalanan masih lenggang dan sepi, ibu keluar menggendongku keluar rumah aku tak ingat dengan persis apakah ketika itu aku sudah bangun atau antara tidur dan tidak, tapi aku bisa mengingat dengan samar peristiwa itu.

Ayahku menjinjing koper agak besar mungkin berwarna hitam, aku tak begitu ingat juga karena hari gelap. Ada becak atau dokar berhenti di depan rumah, ayahku seperti sedang terburu-buru. Dan ibuku seperti hendak memberitahuku sesuatu, yang waktu itu aku tak tahu dengan jelas apa maksudnya. Yang kemudian aku sadari saat itu sebagai salah satu saat yang mungkin paling menyedihkan buat ibuku. Mungkin karena ayahku harus berangkat kuliah ke Jogja, atau karena hal lain yang tak bisa kupahami hingga kini alasannya. Mungkin itu hari perpisahan?.

Hingga kini aku tetap tak bisa membayangkan bagaimana hati ibuku ketika itu, luluh, gelap, merasa sendirian, tak ada tempat mengadu kecuali dengan memelukku kuat-kuat dan menumpahkan seluruh air matanya ketika itu. Mungkin sejak saat itu ibu menjadi single parent karena suaminya jauh. Ibu harus membiasakan diri sendirian di rumah dengan anak-anak. Aku bisa merasakan saat pagi itu, ibu masuk kedalam rumah dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan, sedih, apalagi melihat kami bertiga yang masih sangat kecil. Aku sendiri ketika itu masih kelas satu, barangkali baru enam tahunan dan dua adikku berarti masih sangat kecil dan bahkan si bungsu mungkin masih menyusui. Aku tak ingat apakah ketika itu ibuku lebih kurus, dengan wajah sendu yang tak bisa disembunyikan?. Lalu aku juga terbayang bagaimana ibu memenuhi kebutuhan makannya untuk mendapatkan susu ibu yang dibutuhkan bayinya?.

Barangkali satu-satunya alasan yang membuat ibuku kuat dan bertahan adalah kami anak-anaknya. Aku bisa merasakan kesedihannya setiap kali aku mengingat atau sekedar menyebut jalan itu. Apalagi peristiwa itu seperti tak bisa hilang dari ingatanku sampai kapanpun. Aku rasanya bisa merasakan seperti nyata dan jelas, ketika pagi itu semuanya terjadi. Apakah ada pertengkaran, ataukah ibuku berusaha menahan ayahku supaya tak meningglkan kami, semuanya masih tanda tanya. Kecuali yang bisa aku sadari setelahnya, aku, ibuku dan adikku setiap hari, ketika pagi membeli nasi di warung sebelah, karena rumah kami memang tak memiliki perabotan masak, begitu juga dapur yang khusus, begitulah yang bisa aku ingat. Siang hari begitu juga, kami memakannya bersama-sama, dua bungkus berempat. Mungkin ketika itu hati ibu sering gundah, sehingga beliau masih larut terbawa suasana sehingga masak untuk anak-anakpun masih belum bisa menghiburnya. Sebagai anak-anak, kami menikmatinya seperti tak terjadi apa-apa, tapi ibuku biasanya menangis dan ketika berbagi nasi denganku ibu seringkali membiarkan aku lebih banyak mengambil bagiannya.

Begitulah seorang ibu membagi kekuatan cintanya, membagi hatinya untuk seisi rumah. Dan seringkali harus mengorbankan hatinya sendiri untuk orang yang dicintainya. Dan hari-hari kemudian yang kami jalani adalah hari-hari berjalan berdua dengan ibuku, kadang-kadang berbagi kesedihan  dengan teman baik ibuku di Karang Sari, untuk sekedar melepaskan sesak kesedihan di dalam hati.

Aku tak tahu bagaimana reaksi kakek dan nenek apa mereka merasa kasihan, atau justru mengatakan itu resiko dan konsekuensi dari pilihan-pilihan hidup yang telah dipilihnya sendiri?, ataukah ibu sendiri yang kemudian memutuskan bahwa dirinya bukanlah orang yang gampang patah semangat, dan tetap mampu berdiri di atas kakinya sendiri, dalam kondisi apapun. Ataukah ibu hanya sekedar menguatkan hatinya sendiri dan menunjukkan tekad kepada dirinya bahwa beliau kuat menanggung semuanya demi anak-anak,  dan menunjukkan juga kepada kami bahwa tidak ada sesuatupun yang sedang terjadi, semuanya normal.

Meskipun begitu aku bisa membaca hati dan suasana serta aura di dalam rumah. Tapi aku tetap masih bertanya-tanya apa yang dilakukan ibu di kamar ketika sendiri?, apakah menangisi nasibnya sendiri, atau menangis mencari kekuatan hatinya agar mampu membimbing dan menemani kami seterusnya, dan memberikan yang terbaik buat kami, karena pada saat itu seingatku ibu tak memiliki pekerjaan yang pasti, setelah beliau tak mengajar lagi di PGA Wanayasa.

Dan mungkin keputusan untuk mundur dan menghabiskan waktunya mengurus keluarga dan anak, sebagai salah satu keputusan yang kemudian disadarinya sebagai keputusan yang salah, karena ketika saat-saat kehilangan tak ada tempat untuk bertumpu.

Aku adalah orang yang tidak saja menyaksikan semuanya, tapi bisa merasakan, karena begitu sering dan dekatnya aku dengan ibuku berinteraski setiap harinya, ibuku sering memelukku, mengelus rambutku dan memandangi wajah kami semua. Barangkali saat yang paling berat sepanjang hidupnya ketika itu adalah saat memandangi kami ketika tidur yang bisa menghabiskan seluruh air mata dan menyesakkan dadanya melebihi apapun yang pernah dirasakannya sejak menjadi seorang ibu.

Pengorbanan ibu pastilah luar biasa saat itu, karena aku masih kecil aku tak bisa berbuat apa-apa. Tapi kusadari betapa aku sangat merindukannya ketika di tahun 1979, pada akhirnya aku pergi meninggalkannya hingga sekarang di tanggal 21 Desember di tahun 2011, ketika aku genap berumur 42 tahun. Aku setiap malam menangis tak bisa menahan rasa rindu yang luar biasa, meskipun sebenarnya itu bukan saat pertama aku berpisah, karena sudah berbulan-bulan lamanya sejak aku meninggalkan rumah dan melihat lambaian tangan terakhir dan air mata yang deras dari ibuku, sambil berlari kecil dibelakang dokar yang membawaku ketika itu.

Aku lebih tak bisa membayangkan bagaimana ibuku mengatasi hatinya untuk menahan diri untuk tak sekedar rindu tapi juga tak bisa lagi memeluk anak yang selama ini menjadi teman satu-satunya yang dianggapnya bisa menjadi teman curahan hatinya, bukan adik-adikku yang masih balita.

Hampir setiap hari di sepanjang hidupku aku berusaha untuk tak melupakan semuanya, itu juga barangkali yang mempengaruhi semua cara dan pola dalam hidupku untuk selalu berusaha baik dengan setiap perempuan siapapun orangnya, menyayangi anak kecil terutama perempuan kecil, menghormati orang tua dan membuatku seperti dekat dengan siapapun orang yang bisa sekedar mengingatkanku pada sosok ibuku,.

Dan tahun-tahun terberat dalam hidupku adalah tahun-tahun awal ketika aku merasa sendirian meskipun aku memiliki keluarga baru di tempat jauh. Dan bahkan ketika adikku-adikku datang menyusul kemudian di bulan Agustus di tahun1983 meski aku sedikit terobati, namun juga bertanya-tanya bagaimana ibuku bisa bertahan dengan semua kenyataan seperti itu. Pastilah sangat menyesakkan hati, ditinggalkan ketiga putra yang diharapkan ketika dilahirkan kelak akan menjadi para pengawalnya, namun kemudian kenyataannya justru membuat kami seperti meninggalkannya dan membuat ibu sendirian dan kesepian seperti tak pernah memiliki kami semua.

Aku bisa merasakan kesedihan ibuku karena aku bisa melihat tetesan air mata yang membuat tulisan tangannya yang khas dan indah berpendar di atas lembaran kertas surat yang hampir rutin selalu dikirimkannya untuk sekedar bertanya tentang kabar kami, dan doanya yang selalu mengiringi kami untuk tetap sehat dan berharap suatu ketika kami akan bertemu lagi.


Jalan itu masih tetap seperti dulu bahkan lebih ramai, tapi ketika aku melihatnya lagi aku merasa tempat itu begitu sunyi, sepi dan aku berharap suatu ketika aku bisa kesana di waktu dan saat yang sama dengan ketika aku meninggalkannya atau ketika pagi itu menjadi salah satu catatan yang menyedihkan buat ibuku dan buatku juga pada akhirnya.

Kusadari atau tidak ibuku tetaplah orang yang luar biasa dalam hidupku yang tak tergantikan. Apalagi hingga saat yang tak pernah punya kepastian untuk ketemu lagi, aku seringkali kuatir dan kadang berharap ada keajaiban yang bisa mempertemukan kami kembali. Aku berharap saat itu aku bisa membuatnya bangga dan meneguhkan hatinya bahwa ibuku telah berhasil membawa kami anak-anaknya terutama aku menjadi orang yang berhasil, walaupun beliau jauh namun do'anya ada di dalam darah dan hati kami setiap hari, setiap saat dan setiap detik.

The Story of My Mother; Crossroad Kusuma

by hans@acehdigest

I had a story that never can I forget all my life, especially to my mother, house on the street corner and intersection three Kusuma in front of my house. I remember when it was still dark morning, perhaps just past dawn. The streets were still and silent pause, the mother carried me out of the house came out I do not remember exactly whether it's when I was between sleep and waking up or not, but I can vaguely remember the incident.

My father was carrying a rather large suitcase might be black, I do not really remember because it was dark. There is a rickshaw or buggy stopped in front of the house, my father was like being in a hurry. And my mother as if to tell me something, then I do not know clearly what she meant. Which then I realized at that time as one of the most depressing moment that might make my mother. Maybe because my father had to leave college to Yogyakarta, or because of other things I can not understand until now why. Maybe that's the day goodbye?.

Until now I still can not imagine how my mother at the time, yield, dark, feeling alone, no place to complain except with tightly hugged and shed tears all the time. Perhaps since that time the mother is a single parent because her husband away. Mothers should familiarize themselves alone at home with the kids. I could feel the moment that morning, the mother entered into the house with an inexpressible feeling, sad, let alone see the three of us are still very small. I myself when it was first class, perhaps a new six-year and two brothers is still very small and perhaps even the youngest is still nursing. I do not remember if my mother when it is thinner, with a sad face that can not be hidden?. Then I also imagine how the mother's feeding needs to obtain the required nutrition baby?.

Perhaps the only reason that made her strong and enduring are our children. I could feel her sadness every time I think or just mention that road. Moreover, such events can not be disappeared from my memory until whenever. I could feel like it's real and obvious, when the morning it all happen. Is there an argument, or whether she tried to restrain him so that no leave us, everything is still a question mark. Except that I can realize afterwards, me, my mother and my brother every day, when the morning to buy rice in the stall next door, because our house did not have furniture cook, as well as a special kitchen, so that I can remember. During the day as well, we eat together, two packs of four. Maybe when it's mother's heart is often troubled, so he was late getting carried away so ripe for The children still can not comfort her. As children, we enjoyed it as did not happen, but my mother would cry and when to share the rice with the mother more often let me take part.

That's a mother to share the power of love, divides her heart for the whole house. And often had to sacrifice her own heart for his loved ones. And days later we lived was the days of walking alone with my mother, sometimes good friends share grief with my mother in Karang Sari, to simply release the tightness of sadness in my heart.

I do not know how to react grandparents what they feel pity, or even say that the risks and consequences of life choices that have their own choosing?, Or her own mother who then decided that she was not a woman easily discouraged, and still able to stand on its own feet, in any condition. Or is it merely strengthens the mother's own heart and show a commitment to herself that she had the strength to endure everything for the sake of the children, and also shows us that nothing is happening, everything is normal.

Even so I could read the hearts and the atmosphere and the aura in the house. But I still wonder what in the room when your own mother?, Whether his own fate weep, or cry her heart to find the strength to be able to guide and accompany us beyond, and provide the best for us, because at that moment I remembered the mother did not have work for sure, after she was not teaching again at the PGA Wanayasa.

And maybe the decision to withdraw and spend time taking care of families and children, as one of the decisions that later realized as the wrong decision, because when the moment there's no room for losing rests.

I am a person who not only witnessed it all, but can feel, because so often and close I interact every day with my mother, my mother often hugged me, stroked my hair and we all stared into the face. Perhaps the most serious moment of her life when it is time to look at us when sleeping can spend all the tears and stifling her chest more than anything she had felt since becoming a mother.

Mother must have been tremendous sacrifices that time, since I was little I could do anything. But I realized how much I missed her when in 1979, in the end I walked away today at the 21st December in the year 2011, when I was even 42 years old. I cry every night can not help feeling great longing, though in fact it was not the first time I parted ways, because it was months and months since I left the house and saw the last wave of her hand and tears poured from my mother, as she jogged behind the gig that brought me back then.

I can not imagine how much my mother overcome her heart to resist the urge to not just miss but can no longer hug a child who has been the only friend she considered to be a friend pouring her heart, not my brother who are toddlers.

Almost every day in my life I try to not forget it all, it is also probably affecting all the way and the patterns in my life to always seek better with every woman, fond of children, especially little girls, respect for parents and made as close to anyone people who can just reminded me of my mother figure.

And the toughest years of my life are the early years when I feel alone even though I have a new family in far away places. And even when my brother came followed later in the month of August in 1983 though I was a little relieved, but also wondered how she could survive with all the facts like that. It must have been very oppressive liver, left three sons are expected when born later would become her bodyguards, but then in reality it makes us like to leave and make the mother alone and lonely as never having all of us.

I could feel the grief my mother because I could see the tears that make a distinctive handwriting and a beautiful glow on the sheet of letter paper are almost always sent regularly to ask questions about our news, and prayer that always accompany us to stay healthy and hope to one when we will meet again.

The road still remains as it once was even more crowded, but when I saw him I felt the place was so quiet, quiet, and I hope someday I can get there on time and at the same time as when I left or when the morning it became one of the records sad for my mother and me as well in the end.

I realize it or not she remains an extraordinary person in my life that is irreplaceable. Moreover, until now I never have any certainty to meet again, I often worried and sometimes wish there was a miracle can bring us back. I wished then I could make her proud and confirms her heart that my mother has managed to bring us kids especially I became a successful man, although she is far away but mother’s prayer present in blood and our hearts every day, every moment and every second.