Label

10 tahun tsunami. (1) 2013 (1) acehku (1) Adikku. (1) Aku (5) Among-among (1) Anak-anak (1) Anak-Anak Dikutuk (1) Angka ajaib (1) aqiqahku (1) Ayahku (1) babak baru (1) bakso (1) Barzanji (1) batu cincin (1) belimbing (1) Belut Loch Ness (1) Belut Sawah; Mancing Belut (1) Bibiku (2) bioskop misbar (1) birtdhday party (1) bisnis keluarga (1) busur dan panah (1) cafe (1) capung (1) Celengan bambu (1) China's Neighbords (1) Cibugel 1979 (1) Cibugel Sumedang (2) cinta bunda (1) coffee (1) cracker (1) Curek; Inflammation (1) Dapur nenek (1) dejavu (1) Dian Kurung (1) distant relatives (1) Dremolem Or Dream Of Land (1) es dogger (1) es goyang (1) es serut (1) Fried Sticky Rice (1) Gadis Kecil (1) gambar desain (1) gambarku (1) Gandrung Mangu (2) golek;nugget cassava (1) harmonika kecilku (1) Ibuku (11) Ibuku Atau Kakakku? (1) Ikan (2) ikan dan ular (1) iseng (1) jalan kolopaking (2) Jalan Kusuma (2) jangkrik Jaribang Jaliteng (1) Jenang Candil (1) jogging (1) Juadah (1) Juz Amma (1) kakek dan nenek (3) kakekku (3) kecelakaan fatal (2) kelahiranku (1) Kelas Terakhir; the last class (1) Kembang api (1) kenangan (1) Kerupuk Legendar (1) kilang padi (1) Klapertart Cake (1) kolam ikan masjid (1) koleksi stiker (1) koleksi unik (1) koplak dokar dan colt (1) kota kecil dan rumahku (1) Kue tape (1) Kutawinangun (1) Lanting (1) Lebaran (1) little cards (1) Loteng rumah (1) lotere (1) lottery (1) mainan anak-umbul (1) makan (1) makkah (1) Malam Jum'at (1) Mancing Belut (1) masa kecil (11) masa kecil. (1) masa lalu (3) masjid kolopaking (1) meatballs (1) Mengaji (1) menu berbuka (1) Mercon (1) Minum Dawet (1) morning walk (1) my (1) my birth (2) my first notes (6) my mom (4) my note (27) Nama ibuku (1) Nenek Sumedang (1) new round (1) new year (2) others notes (1) ours home (1) padi sawah wetan (2) pande besi (1) Papan Tulis (1) Pasar dan Ibuku (1) Penculik dan Bruk (1) Pencuri (1) Perayaan (1) Perjalanan 25 Tahun Bag. Pertama (1) personal (1) Puasa (3) radio transistor (1) ramadhan (1) Roti dan Meriam Kauman (1) Rumah Ban (1) Rumah Kakek dan Nenek (5) rumah karang sari (1) rumah kecil di pojok jalan (4) rumah kelinci (1) rumah kutawinangun (1) Rumah Pojok (1) rumahku (1) Sarapan Apa Sahur? (1) saudara jauh (1) sawah utara (1) sawah wetan (2) SD Kebumen (1) Sepeda dan Meteor (1) shake es (1) shalat jamaah (1) sintren (1) special note (1) Starfruit for Mom (1) Stasiun Kereta Api (2) Sumedang 1979 (1) Sungai Lukulo. (1) tahun awal (17) tahun baru (1) Taman Kanak-kanak (1) Tampomas I (1) tanteku (2) Tetangga Cina (1) The magic Number (1) tradisional (1) tsunami 2014 (1) Ulang tahun (1) Visionary grandpa (1) Wayang Titi (1)

Senin, 30 Januari 2012

Belut Sawah; Paddies Eel Fishing

Bagi anak-anak yang tinggal dipinggiran kota seperti aku, sawah dan belut adalah bagian dari permainan. Begitulah, mencari belut di pematang sawah aku lakukan setiap kali di musim awal tanam padi, meskipun sebenarnya ini cuma pekerjaan iseng sambil menunggu saat panen tiba.

Diantara kami semua yang tak begitu bergembira ketika musim belut tiba adalah ibuku. Ibuku orang yang agak geli dengan belut, meski aku membawa pulang banyak belut sekalipun, beliau tak begitu senang, apalagi kalau belutnya kecil-kecil, karena susah membersihkannya. Kalaupun senang barangkali cuma untuk menghargai pengorbananku yang sudah bersusah payah menangkapnya. Bahkan jika hari minggu, mulai dari pagi sampai sore aku akan menghilang dari rumah, barulah menjelang maghrib aku pulang dengan jinjingan belut yang kami "sudat" dengan tali rumput atau jerami yang kami buat untuk menggantung kumpulan belut yang kami tangkap. Kebiasaan ini pula yang membuat aku juga sering telat pergi mengaji ke mesjid atau ke rumah haji Rohmat di sebelah rumah.

Padahal kalau cuma mau mencicipi rasa belut, asinan belut atau belut goreng banyak dijual orang, tak perlu bersusah payah bermain lumpur. Tapi beda rasanya kalau menangkap sendiri, selain bisa main lumpur, menarik belut saat mancing adalah saat paling seru dan mendebarkan, bahkan bisa dapat bonus jatuh kedalam sawah dan dikejar-kejar pemiliknya. Untuk yang satu ini ibuku juga cukup cerewet menasehati, bisa jadi karena takut dengan para pemilik sawah yang mengejar kami atau kemarahan para pemilik sawah disampaikan langsung ke ibu dan bukan ke kami langsung. Jadi ibu yang tak tahu apa-apa dengan urusan sawah dan belut tiba-tiba di omeli orang karena anaknya yang jahil di sawah orang. Bahkan di waktu-waktu tertentu, ibu akan mencari kami langsung kesawah di belakang rumah dan ibuku akan memanggil kami pulang, dengan alasan untuk makan siang, padahal kalau sudah sampai dirumah maka semua kail kami akan disitanya, sehingga kami tak lagi bisa kembali memancing dan jika tetap nekat juga pergi lagi, maka aku hanya akan menjadi penonton orang mancing dan penggembira sewaktu mereka dikejar pemilik sawah.

Memancing belut buatku tak susah karena sejak kecil, sudah terbiasa melihat orang-orang memancing, kecuali cara membuat kailnya dengan benar yang tak pernah bisa aku lakukan, tapi bisa dibantu teman-teman lain. Biasanya dimulai dengan "mengintai" belut, dengan mencari lubang di pinggir sawah, melihat gelembung udara di lubang. Jika sudah dapat, tinggal memasukkan kail khusus, kail dengan mata kail dan senar sepanjang tigapuluh senti yang dipilin dua lapis dan diujungnya ditambah dengan tangkai kayu untuk memegang senar agar jangan licin. Karena selain licin, tali juga akan dililitkan di tangan waktu menarik belut keluar, karena perlawanan belut lumayan keras sebelum betul-betul keluar dari air.

Aku suka mencarinya di daerah Wanayasa daripada Karang Sari yang jauh, karena selain sawahnya lebih luas dan dekat rumah, pada waktu pagi biasanya sawah Wanayasa lebih ramai. Tapi harus hati-hati, karena ada pemilik sawah yang tak suka pematang sawahnya diinjak atau dilewati, karena kalau sering dilewati apalagi ramai orang, pematang bisa longsor dan gugur sehingga petani harus membuatnya ulang atau pematang jebol dan air dari sawahnya akan masuk ke sawah orang. Karena menanam padi ada aturannya, jumlah air, tinggi air, waktu air masuk dan dibagikan ke semua sawah juga tidak tiap hari, apalagi yang punya sawah di tengah, harus minta izin mengalirkan air melalui sawah orang yang dekat dengan irigasi dan begitu sudah cukup harus ditutup kembali pematang-pematangnya, rumit juga kan. Jadi menurut aku wajar kalau ada petani yang ngamuk gara-gara ulah aku dan teman-teman yang tak sengaja merusak pematang, karena mengorek sarang belut atau berlarian beramai-ramai di atas pematang yang sempit, bahkan kadang-kadang kami tak sengaja jatuh kedalam sawah karena tak hati-hati atau bermain-main.

Karena ulang iseng kami, biasanya kami dikejar oleh pemilik sawah sambil mengancam dengan parangnya, padahal mereka cuma bermaksud menakuti. Ada juga pemilik sawah yang iseng, menunggu kami dengan bersembunyi di sawah "daerah terlarang", begitu kami mendekat pak tani itu akan bangun dan berteriak menakuti kami. Aku dan teman-teman yang kaget akan berhamburan tak jelas arah larinya, yang tak sabar dibelakang menunggu temannya yang tak bisa lari cepat akan memotong jalan dengan melewati sawah. Akibatnya anak-anak padi terinjak. Dan jika kami tertangkap, hukumannya adalah mencabuti rumput yang ada di sawahnya atau membetulkan pematang dan mengganti dengan tanaman baru anak-anak padi yang terinjak, pekerjaan ini menjengkelkan karena bisa seharian, sambil ditunggui pemiliknya yang mondar-mandir dengan parangnya. Jika sedang sial begitulah, niat memancing belut menjadi acara menanam padi di sawah orang. Meskipun beberapa kali kami berusaha kabur, menunggu pemiliknya lengah. Tapi di lain hari kami harus betul-betul hati-hati jika berpapasan di jalan dan mereka mengenali wajah kami, tetap saja kami akan kena "semprot" dengan makian.

Begitulah belut menjadi ritual bagi aku dan anak-anak lain di daerahku, meskipun kami tinggal dipinggiran kota yang setiap harinya bermain di pinggir jalan besar, dengan deretan toko disepanjang jalan Kusuma, tapi kami masih punya tanah sawah luas membentang hingga jauh tak terjangkau mata.Jadi jika bosan dengan satu jenis mainan "kota", kami masih punya pilihan mainan "kampung", mancing belut, membuat rumah dari jerami atau main bola di tanah bekas panen padi dan pulang dengan badan gatal-gatal dan bekas sayatan kecil jerami hampir di sekujur badan, tapi tetap saja kami tak pernah jera.

Paddies Eel Fishing
by hans@acehdigest

For me, children who lives in suburban living, fields and eel is part of the game. Looking for eels in the dike was I doing a routine at the beginning of each season rice planting. Actually this is our job fun, while waiting for harvest time arrived.

Among all of us are not so happy when the season arrives eel is my mother. My mother who is rather amused with eel, although I brought home a lot paddies eel, mom was less happy, moreover if the small eel, because it is difficult to clean. Even if perhaps just happy to appreciate the sacrifice that had bothered me. Even if the day of the week from morning until evening I'll be gone from home, then I went home before maghrib object carried in the hand of our eel "sudat" with grass or straw rope that we made to hang a collection of eels that we capture. This habit also makes me too often late to go to the mosque chanting or Haji Rohmat to the house next door. 

If you just want to taste the flavor of eels, or a menu of fried eels are sold people, need not bother to play in mud. But it's different if you catch yourself, but can play in mud, pulled eel fishing is a time when the most exciting and thrilling, it can even be a bonus falls into the fields and hunted down the owner. For this one is also quite fussy mother advised, it could be because of fear with the owners of the fields in pursuit of us, or anger the owners of rice delivered directly to the mother and not to us directly. So mothers who do not know what to do with the affairs of rice and eel suddenly in scolded people because their children are ignorant people in the rice fields. Even at certain times, the mother will find us directly to the paddies field behind the house and mom asked us would back, arguing for lunch, but when we get home then we'll all hook confiscation, so we no longer can go back fishing and if it remains too desperate to go again, so I will just be a spectator of people fishing and cheerleaders as they chased the owner field. 

Eel fishing was difficult for me because since childhood, been accustomed to see people fishing, except how to make a right hook that never could I do, but can be assisted by other friends. Usually begins with "stalking" eel, by looking for holes in the edge of the field, seeing the air bubbles in the hole. If you have its, just insert a special hook, a hook with hook and string along the thirty inches of twisted two layers and at the end coupled with the wooden handle to hold the strings in order not slippery. Because in addition to slippery rope wrapped around our hands will also attractive eels out of time, because the resistance of eels pretty hard before I really get out of the water. 

I like to look at Wanayasa than Karang Sari because a distant, near from our home and the more vast rice fields and rice paddies in the morning usually become more crowded. But be careful there are owners who do not like rice field dike fields trampled or skipped, as if often bypassed especially busy people, dikes could collapse and fall so that farmers have to make repeated or broken dikes and water from the fields will go into those fields. Because there are rules to plant rice, the amount of water, high water, when water enters and is distributed to all the fields are also not every day, let alone have any rice in the middle, had to ask someone pouring water through the rice fields close to the irrigation and so is enough to be closed re-embankment, it is also complicated. So according to me is normal that there are farmers who go rampage because me and my friends who do not accidentally damage the dike, because the eel's nest scrape or running abuzz over a narrow causeway, sometimes even we do not accidentally fall into the field because not careful or playing around. 

Because of our fun, we usually field while being chased by the owners threatened with machete, when they only meant to scare. There is also the owner of the idle rice fields, waiting for us to hide in the fields "restricted areas", so we approached the farmer would pack up and shout to scare us. Me and my friends are surprised at the direction of flight of scattered incoherently, who waited impatiently behind a friend who could not run fast to cut the road through the rice fields. As a result of rice seedlings. And if we were caught, the penalty is pulling the grass in the fields or correct the causeway and replace with a new crop of rice seedlings, this work is annoying because it can be all day, while their owners attended the pacing with the machete. If you're unlucky so, the intention of fishing eels into the show grow rice in the rice fields. Although we tried to escape several times, waiting for unsuspecting owners. But the other day we should really be careful if you pass on the street and they recognize our faces, still we will be subject to "scolded" with roughly. 

That eel became a ritual for me and other children in the county, although our suburban living that every day playing in the big roadside, with a row of shops along the kusuma road, but we still have vast land of paddy fields stretching far out of reach until the eye. So if you get bored with one type of toy "city", we still have a choice of toys "village", eel fishing, make a house of straw or play ball on the ground marks the rice harvest and returned with the body hives and hay almost small incision in the whole body, but still we never deterrent.

Jumat, 20 Januari 2012

Berburu Belut; Eel Hunting!

Aku pikir tak semua orang punya kisah atau cara bagaimana memancing belut. Menarik belut dari dalam liangnya yang dalam dan tak terlihat, ditambah lagi belut terkenal sangat licin adalah hal yang luar biasa sulit. Bahkan jika kita sudah menangkapnya di darat kita masih saja tak dapat menaklukannya apalagi jika kita menangkapnya dalam air, kita tak bisa berharap banyak bisa membawanya pulang.

Dideretan toko dibelakang rumahku masih terdapat banyak areal persawahan yang luas membentang, hingga Wanayasa, Karangsari dan semua tempat yang dalam jangkauan pandanganku sampai ke gunung yang jauh dan hampir tak terlihat. Pinggiran kota di utara juga dipenuhi dengan parit irigasi dengan air bening yang deras yang menandakan daerahku masih bergantung juga dengan pertanian selain dengan tata niaga. Banyaknya deretan toko hanya menghiasi sebatas pinggiran jalan langsung di Jalan Kusuma hingga Karang Sari, selebihnya adalah sawah.

Ketika musim tanam padi selesai dan dimulailah masa menjaga padi dari rumput ilalang, kurang lebih ketika padi berumur dua bulan dan masih setinggi tak kurang dari tinggi pematang, ketika itu air irigasi akan mengisi areal persawahan hanya sebatas untuk membasahi dan mengairi tidak untuk merendam. Ini juga trik untuk menghindari hama tikus, yang akan beraksi jika sawah kering, dan ketika itu dimulailah musim berburu belut. Pematang-pematang yang mulai basah, mulai menjadi rumah idaman para belut, biasanya kami akan memeriksa jika kemungkinan belutnya sudah ada atau belum, dengan cara jalan perlahan dipematang sawah, tak boleh gegabah atau berlarian untuk menghindari belut jauh masuk ke dalam liang dan tak terdeteksi. Ketika itu kita akan mencari liang yang masih terlihat di pinggiran pematang karena air yang tak terlalu banyak menggenangi sawah, jika ada sebuah lubang seukuran jari, kita akan mengawasi apakah ada gelembung yang muncul, jika tanda itu ada itu artinya kita bisa memasang jebakan pancing kita.

Berbeda dengan bentuk pancing ikan, kita hanya membutuhkan tali senar tak lebih dari setengah meter panjangnya, meskipun begitu senar harus dilapis dua dengan cara dipilin dan mata kailnya di tempatkan diujung menyatu dengan senar ketika dipilin sehingga kuat. Di ujung senar tadi kita tambahkan dengan kayu kecil sebagai pegangan yang diikat dengan arah berlawanan dengan arah senar, sehingga berbentuk T. Gunanya untuk menarik belut ketika pancing kita ditarik dan belut itu melawan dengan menariknya kuat sekali. Karena selama masih di dalam tanah, tenaga belut luar biasa dan jika tak ada alat bantu pegangan, dan tangan kita licin maka dengan mudah belut akan menariknya ke dalam tanah. Itu pula sebabnya ketika memancing belut kita harus sabar dan tak melepas pancing kita karena bisa ditarik sewaktu-waktu tanpa aba-aba. Begitu kail yang telah diisi umpan biasanya cacing yang kami ambil di parit belakang rumah yang jumlahnya ribuan, maka biasanya setelah menunggu beberapa saat belut akan terpancing memakan umpan dan mulai menarik perlahan lalu sangat cepat dan kuat, maka kita harus lebih cepat menariknya untuk membuatnya kaget dan lemas. Dan ketika belut telah keluar dari lubang, maka secepanya kita harus membantingnya di pematang agar belut lemas dan kita bisa melepaskannya dari kail kita. Jika tidak belut akan membelit tangan dan kail kita sehingga akan semakin sulit melepaskan dari kail. Biasanya kita menyimpanya hasil tangkapan belut tidak dalam plastik tapi dalam "bubu" dari bambu, agar belut tidak lolos.

Para pemburu belut pada musimnya biasanya memilih malam hari karena umumnya belut sedang mencari makan dan biasanya rakus, bahkan keluar dari lubang, untuk mencari ikan atau binatang kecil yang bisa disantap. Tapi bahayanya ketika malam adalah berpapasan dengan ular berbisa yang dimalam hari juga mencari mangsa tikus sawah yang besar dan berlarian di pematang. Jika kita tak berhati-hati dan tak sengaja menginjaknya maka kemungkinan kita akan digigit. Ular yang kami takuti adalah ular belang yang kata orrang bisa-nya dengan cepat menjalar ke seluiruh tubuh dan jika sampai ke jantung maka kita tak akan tertolong, terutama jika kita pingsan setelah digigit dan tak mendapatkan pertolongan secepatnya.

Eel Hunting!
by hans@acehdigest

I think not all people have stories or the way how an eel fishing. Attract eels from the hole deep and invisible, plus it is very slippery eel famous is extremely difficult. Even if we've caught its on land we still can not conquer especially if we catch its in the water, we can not expect much to take its home.

Parked right behind my shop there are still many extensive stretches of rice cultivation, until Wanayasa, Karangsari and all places within reach of my sight to a distant mountain and almost invisible. In the northern suburbs is also filled with clear water irrigation ditch with the rains that signify county still relies too with agriculture in addition to the trade system. The number of shops adorned only limited direct curb on the Road to Coral Kusuma Sari, the rest is rice.

When the rice planting season is finished and began the keeping of grass weeds of rice, when rice was less than two months and is still as high as no less than a high embankment, when the irrigation water will fill the rice field was limited to moisten and irrigate not to soak. It's also a trick to avoid the rat, which would act if the rice is dry, and when it began the eel hunting season. Dike which started wet, began to dream house of the eel, usually we will check if the possibility the eel already exists, by the way slowly in dike fields, not to be hasty or ran away to avoid the eel into the burrow and go undetected. When that we will look for burrows that are still visible on the outskirts of the dike because the water is not too much flooded rice fields, if there is a finger-sized holes, we will be watching whether there is a bubble that pops up, if the sign was there it means we can put our fishing trap.

Unlike the fish hook shape, we only need a stringed rope no more than two feet in length, though so strings must be coated by means of two twisted and eye hook in place the tip of one with the strings when twisted so strong. At the end of the string before we add a little wood as a handle tied with a direction opposite to the direction of the strings, so the shape of T. Useful to attract eels when we pulled and eel fishing was a strong fight by pulling it all. Because while it is in the ground, incredible power eels and if there's no grip aids, and our hands slippery eels then easily be pulled into the ground. That is also why when fishing eels we must be patient and do not remove our hooks because they can be withdrawn at any time without warning. Once that has been filled bait hook worms that we usually take in a ditch behind the house the thousands, it is usually after waiting some time hooked eels will take the bait and then slowly began to pull very fast and strong, then we should be quicker to pull to his surprise and limp. And when the eels have been out of the hole, then we have to slam it
as soon as possible in the dike so that eels loose and we can let go of our hook. If no eels will twist our arms and hooks so it will be increasingly difficult to let go of the hook. Usually we save eel catches in the plastic but not in the "trap" of bamboo, so that eels do not qualify.

The hunters eels in season usually choose night because eels are generally looking for food and usually voracious, even out of the hole, looking for fish or small animals that can be eaten. But the danger when the night was passed by a venomous snake looking for prey at night is also a large field mouse and running in the dike. If we are not careful and accidentally stepped on it then you will probably be bitten. Snakes that we fear is "striped snake" who people said its can quickly spread to all the body and if it gets to the heart then we would not have helped, especially if we are unconscious after being bitten and do not get help immediately.

Berburu Ikan atau Ular?; Hunting Fish or snake?

Ada kebiasaanku yang selalu membuatku ibuku marah. Kesukaanku pada ikan, sebenarnya bukan ibuku membenci ikan, cuma caraku mendapatkan ikan selalu saja membuatnya tak habis pikir bagaimana cara menasehatinya. Beberapa kali karena aku mencari ikan di irigasi sawah aku kehilangan sandal, bahkan sandal baru sekalipun. Biasanya soalnya sepele, karena aku memang berniat mencari ikan, setiap kali berusaha menangkap ikan agar memudahkan bergerak di dalam air ketika menjaring maka aku melepas sandal dan meletakkan sandalku di pinggiran irigasi, dan kemudian tanpa sadar aku terus mencari dan memburu ikan dengan terus berjalan di dalam air, sementara teman atau adikku menunggu di atas untuk mengambil ikan yang setiap kali kami dapat. Tapi mereka kadang-kadang lupa membawa serta sandalku karena keasyikan, akibatnya jika ada petani atau siapapun yang menemukan sepasang sandal yang masih layak pakai, mereka pasti akan mengambilnya termasuk barangkali para pemulung. Maka lenyaplah sandal itu dan aku pulang dengan telanjang kaki, begitu seterusnya kisah hilangnya sandalku terulang.

Tapi ada hal lain yang juga membuat ibuku kesal, karena kesukaanku menangkap ikan, aku kadang-kadang tak peduli dengan waktu, bisa saja aku mencarinya hingga hari menjelang magrib, sehingga ibuku kadang langsung mencariku dan menarikku pulang jika mendapatiku masih mencari ikan di irigasi. Dan lebih mengesalkan lagi jika aku mencari ikannya sepulang sekolah, di hari sabtu sekalipun, karena akan membuat bajuku kotor luar biasa karena noda lumpur.

Dan di hari yang tak kuingat persis apakah sabtu juga, ketika itu aku masih duduk di kelas 1 di SD kebumen mungkin di daerah Wiroyudan sekitar tahun 1977, entahlah. Kami sedang berjalan pulang sekolah, menyusuri jalan sambil bercanda untuk menghilangkan penat berjalan siang hari sepulang sekolah yang melelahkan. Di dekat terminal, kami menjumpai orang yang sedang "tawu", menguras sawah atau kolam, sebagian besar air yang biasanya memenuhi sawah sudah kering dan sebagian besar ikan juga sudah diambil, tinggal sisa-sisanya saja. Beberapa ekor ikan yang masih tersisa sesekali muncul kepermukaan lumpur mengambil udara, dan akhirnya membuat aku dan beberapa temanku tak tahan, setelah meminta izin dan diperbolehkan maka masuklah kami kedalam air, setelah sebelumnya membuka sepatu dan baju, dan meninggalkan tas dan semua barang di pinggir pematang di dekat jalan. Maka mulailah kami berebutan menangkapi ikan yang tersisa, makin kami masuk kedalam semakin banyak ikan yang kami dapat, sehingga kami tak sadari hari bertambah siang bahkan mendekati sore, kulitku juga terbakar matahari dan menghitam.

Dan kejadian lucunya, setiap kali aku mencari ikan di dalam lumpur dengan cara meraba, setiap kali pula aku kira mendapatkan belut, ternyata aku memegang seekor ular, dan begitu di tangan terasa kasar sisiknya maka dengan secepat kilat aku akan melemparkannya ke udara atau ke jalanan yang ketika itu dipenuhi orang yang lalu lalang, beberapa orang terkejut dan tertawa, tapi beberapa orang marah dan memaki. Tapi tetap saja tak membuatku takut, padahal ketika ular itu aku lepas mereka masuk kembali kedalam air dan kemungkinan aku ketemu dan digigit bisa terjadi. Tapi meskipun aku penakut dengan ular tetap saja aku tak mau beranjak dari air, karena kata orang ular hitam itu hanya ular air yang juga makan ikan bukan orang?. Ketika hari semakin sore dan orang-orang yang mencari ikan bersama kami satu persatu pulang, barulah kami menyadari kami sudah terlalu lama, perut sudah kelaparan dan celana serta kaosku sudah dipenuhi lumpur, barulah kemudian aku bingung, bagaimana menjelaskannya kepada ibuku. Aku hanya berharap pada satu hal agar ibuku tak marah padaku, karena aku membawa pulang banyak ikan dan berharap itu akan membuat ibuku senang dan mengurangi rasa jengkel dan kesalnya.

Aku buru-buru pulang sambil berharap tak langsung berpapasan dengan ibuku dan segera aku berlari ke kamar mandi, mencuci badan dengan membawa serta ikanku. Aku tak ingat apakah ketika itu ibuku melihatku atau sedang sibuk diluar. Tapi jika melihatku ibu tak akan percaya dengan apa yang kulakukan dan pastinya marah besar.

Hunting Fish or snake?
by hans@acehdigest

There is a habit that always made my mother mad. My favorite on the fish, the fish is actually not my mother hates, it's just my way of getting the fish are always just make her ununderstand how to advise me. Several times because I was looking for fish in irrigated rice fields I lost my slipper, slippers and even new ones. Usually because trivial, because I was intending to fish, each time trying to catch fish in order to facilitate moving around in the water when the net so I took off my sandals and put my sandals on the outskirts of irrigation, and then unconsciously I kept looking and hunt fish by continuing to walk in water, while a friend or my little brother waiting on top to take fish whenever we find. But they sometimes forget to bring sandals for fun, as a result if any farmers or anyone who finds a pair of sandals that are unsuitable for use, they will surely take it, including perhaps the scavengers. So gone are the sandals and I came home with bare feet, sandals and so on repeated story of the loss.

But there are other things that also made my mother upset, because my favorite fish, I sometimes do not care about time, I could look up to the day before sunset, so my mom sometimes directly to find me and pull me back if you find me still looking for fish in irrigation. And more frustrating if I find the fish again after school, on Saturday though, because it will make my clothes dirty remarkable because the mud stains.

And in the days that do not remember exactly whether Saturday also, when I was sitting in first class in primary schools in the area Wiroyudan Kebumen possible around the year 1977, I do not remember. We were walking home from school, down the street, walking joke to relieve fatigue during the day after school is exhausting. Near the terminal, we meet people who are "tawu", drain fields or ponds, most of the water which usually meets rice is dry and most of the fish also have been taken, lived alone remains. A few fish remaining occasional mud surface to take air, and finally made me and some of my friends could not bear, after asking permission and are allowed then we go into the water, having previously opened the shoes and clothes, and left the bag and all the stuff on the edge of the dike near the road. So we began scrambling arresting the remaining fish, the more we get into more and more fish we can, so we did not realize it got even closer during the afternoon, my skin was too sunburned and blackened.

And the incident funny, every time I go fishing in the mud in a way felt, each time I think getting an eel, I found myself holding a snake, and once in the hands of rough scales with lightning speed then I would throw it into the air or into the street when it's filled with people passing by, some people are surprised and laugh, but some people angry and swore. But still it did not frighten me, but when the snake was I off they went back into the water and the possibility that I met and bitten can occur. But even though I was scared by a snake still I do not want to move from the water, because they say it's just a black snake, water snake who also eat fish instead of people?. When it was getting late and the people who go fishing with us one by one back, then we realized we were already too long, the stomach is starving and pants and my shirt was full of mud, then later I'm confused, how to explain it to my mother. I just hope the one thing that my mother was mad at me, because I bring home lots of fish and hope it will make my mom happy and relieve irritated and annoyed.

I rushed home, hoping not directly cross paths with my mother and I immediately ran to the bathroom, wash my body with my fish as well. I do not remember if my mom sees me or when it is busy outside. But if she saw, my mom will not believe what I was doing and certainly furious.

Rumah dan Papan Tulis; blackboard

Di rumah pojok, masih dijalan kusuma juga, aku punya sebuah papan tulis besar. Panjang dan lebarnya memenuhi sebagian besar dinding ruang tamu. Jadi setiap kali tamu berkunjung kerumah, begitu membuka pintu akan langsung melihat papan tulis itu yang hampir setiap hari selalu dipenuhi dengan gambar karya aku dan adikku.

Ibu memang membiarkan kami berekspresi dengan menggambar, kami harus naik ke atas meja besar yang juga terdapat diruang tamu setiap kali kami harus menggambar. Dengan menggunakan kapur tulis yang selalu tersedia tak pernah habis kami menggambar apapun, aku tak ingat apakah ibuku selalu menyediakan kapur tulis itu atau aku mengambilnya dari sekolah dari sisa-sisa potongan kapur yang tak lagi terpakai. Tapi seingatku sesekali aku membelinya di pasar kecil di samping terminal colt.

Sebenarnya cara mengisi waktu dengan menggambar itu baik, cuma kadangkala kami nakal dan tak menyadari jika saat kami menghapus gambar dengan tangan maupun dengan penghapus, bubuk kapur itu beterbangan ke segala arah dibawa angin, sehingga bukan cuma baju kami yang putih tapi sekujur lantai juga dipenuhi bubuk itu. Dan yang paling tidak kami sadari sebenarnya kapur tidak sehat bagi kita karena bubuknya bisa terhisap dan bisa menyebabkan sesak nafas. Tapi seingatku kami jarang sakit, barangkali tidak diwaktu kecil karena setelah aku besar kemudian aku menjadi alergi debu dan sinusitis, yang menyebabkan aku bereaksi ketika hari hujan atau ketika udara dingin.

Tapi tidak dengan adik-adikku, mereka biasa saja, bisa jadi karena diantara kami bertiga pada awalnya, akulah yang paling aktif menggambar, dan kebiasaan itu kemudian terbawa sehingga setiap ada pelajaran yang mengharuskan aku menambahkan ilustrasi, maka aku akan berusaha menggambar dengan cara yang paling baik, detail dan aku usahakan semirip mungkin dengan gambar aslinya dan semua itu aku lakukan tanpa menjiplaknya, tapi menggambar dengan hati-hati dan teliti. Itu pula yang membuat aku menyukai detail dan desain yang tak biasa. Menurutku bentuk kemasan barang yang didesain dengan baik akan selalu menarik perhatianku dan dari waktu ke waktu minatku ke dalam bidang desain dan interior semakin besar, Meskipun sayangnya aku tak melanjutkan sekolahku ke bidang itu. Tapi rumahku aku hiasi dengan berbagai macam hiasan yang aku dapatkan idenya dari cara desainer menerapkan idenya ke dalam interior, aku cuma sedikit melakukan improvisasi dan modifikasi.

Tapi anehnya, ditahun-tahun ketika kemudian kami mulai bersaing dalam bidang menggambar, antara aku dan adikku aku ternyata kalah bakat. Mereka diam-diam memiliki talenta yang jauh di atasku dalam soal menggambar jadilah aku selalu nomor dua bahkan nomor tiga dalam setiap kali kompetisi menggambar. Tapi aku menyadari itu sebagai sebuah kebanggaan, karena kebiasaan kami dulu ternyata mengasah bakat kami tanpa kami sadari.

Meskipun begitu, Ibuku sebenarnya orang yang paling kuatir dengan papan tulis itu, tapi karena melihat keinginan kuat kami untuk menggambar yang hampir tak bisa dihentikan, akhirnya ibu berada di posisi yang sulit, dan membiarkan kami bermain dengan kapur karena diam-diam juga menunjukkan bakat kami dalam soal menggambar, meskipun sebenarnya ibu kuatir dengan debu kapur yang bisa membuat kami sakit. Ibu kadang-kadang membiarkan gambar itu untuk beberapa saat karena mungkin dirasa indah dan ingin dinikmatinya, bahkan menurutku biasanya kami sendirilah yang selalu menghapus gambar-gambar itu kapanpun kami mau, ketika kami mau menggambar yang baru dan papan itu masih dipenuhi dengan bekas gambar lama. Ibuku memang membanggakan kemampuan kami menggambar, melihat gambar dan ekpresi kami mungkin bisa menunjukkan bagaimana sesungguhnya perasaan kami. Ketika gembira, sedih, malas, riang, kesepian dan bisa jadi di satu waktu ibuku akan melihat gambar-gambar kami dan coba memahami bagaimana sesungguhnya perasaan kami, mungkin sambil tersenyum, mungkin haru, mungkin juga sedih karena kami menggambar sesuatu yang membuatnya menyadari bagaimana nasib kami sesungguhnya, atau segala kemungkinan yang bisa saja terjadi seperti halnya yang terjadi padaku di kemudian hari, berpisah jauh dengannya. Setidaknya papan tulis itu bisa mengisahkan banyak hal tentang kami dan perasaan kami setiap harinya tanpa kami sadari.

Blackboard
by hans@acehdigest

In the home corner, still in kusuma street also, I've got a big blackboard. The length and width to meet most of the living room wall. So every time guests visit home, when they opened the door will instantly see that board almost every day is always filled with drawings of me and my brothers.

Mom was letting us express by drawing, we must rise to the top of the table are also present in the living room every time we have to draw. Using chalk that is always available inexhaustible we draw anything, I do not remember if my mother always provide chalk or I take it from the school from the remnants of chalk pieces that are no longer in use. But as I remember sometimes I buy it in a small market next to the terminal colt.

Actually how to fill the time with the drawing was good, just sometimes do not realize we were naughty and if when we remove the image by hand or with an eraser, chalk powder was flying in all directions in the wind, so it's not just make our white clothes but all over the floor but also filled with powder it. And most do not realize we were actually lime is not healthy for us because the powder can be inhaled and can cause shortness of breath. But as I recall we were rarely sick, perhaps not at a time when we small because after I was big then I became allergic to dust and sinusitis, which caused me to react when it rains or when the air is cold.

But not with my siblings, their ordinary course, it could be because among the three of us at first, I was the most active drawing, and then carried the habit so that whenever there is a lesson that requires me to add illustrations, so I'll try to draw in the most well, the details and I try as closely as possible to the original image and all that I do without tracing them, but drawing carefully and thoroughly. It's also what makes me love the detail and design that is not unusual. I think the form of packaging of goods that are well designed will always attract my attention and my interest from time to time in the field of interior design and the greater, though unfortunately I did not continue my school to the field. But I decorate my house with various kinds of ornaments that I got the idea from the way the designer to implement their ideas into the interior, I'm just a little improvising and modifications.

But oddly enough, during those years when we started to compete in the areas of drawing, between me and my brother and I was losing talent. They secretly have a talent that far above me in the matter of drawing I always be number two and even numbers
three in each drawing competition. But I realized it as a pride, because we used it a habit to hone our talents without our knowing it.

Even so, my mother is actually the person most concerned with the board, but the sight of our strong desire to draw an almost unstoppable, eventually the mother was in a difficult position, and let us play with chalk because secretly also show our talents in the matter of drawing, even though the mother concerned about the chalk dust that can make us sick. Mom sometimes let the picture for some time as may be considered beautiful and want to enjoy, even I think usually we ourselves always delete the images whenever we want, when we want to draw a new one and the board is still filled with old image. My mom is proud of our ability to draw, view pictures and expressions we might be able to show how we really feel. When happy, sad, lazy, carefree, and can be lonely at one time my mom would see pictures of us and really try to understand how we feel, perhaps with a smile, perhaps emotion, may also sad because we draw something that made her realize how fate we really are, or all possibilities that can happen as happened to me in later life, from far away with my mom. At least the board can be told many things about us and our feelings every day without us knowing it.

Pencuri Di Rumah Sendiri; Burglar in your own home

Ada kebiasaan jelekku sewaktu kecil, selalu menonton televisi dimalam hari. Ini terjadi karena aku terobsesi dengan film, apapun jenisnya. Aku selalu dibuat penasaran dengan semua jenis film, baik anak-anak maupun film dewasa. Kadang-kadang, aku sudah mendapatkan berita tentang film apa yang akan tayang nanti malam. Karena aku tahu dengan tepat jamnya, maka aku menjadi gelisah ketika jamnya hampir tiba sementara aku masih berada di rumah. Maka dengan sembunyi-sembunyi setelah aku pastikan filmnya akan dimulai dengan mengintipnya dari lantai dua rumahku kearah rumah Incung temanku. Aku langsung bergegas dengan apapun caranya untuk pergi dari rumah dan menonton televisi di rumah siapapun yang bisa kutonton. Biasanya aku nonton di rumah Subekti, karena rumahnya di jadikan tempat bisnis menjahit, jadinya sampai malam hari tetap buka sambil menunggu pelanggan yang janji mengambil jahitan pada malam harinya.

Kebiasaan itu menjadi candu buatku, sehingga aku tak pernah peduli jika setiap malam aku pergi keluar, meskipun dimarahi ibuku hampir setiap hari dengan berbagai hukuman. Termasuk juga dengan cara menyelinap, ketika aku berpura-pura tidur dan ketika ibuku serta adik-adikku telah tidur, aku akan bangun dan memanjat pagar rumah yang tingginya hampir dua meter. Dindingnya bisa kupanjat karena ada deretan susunan ban yang memang di tempatkan di pinggir pagar agar tidak mudah jatuh, yang justru menjadi keuntungan buatku karena menjadi tangga yang membantuku bisa keluar.

Ibuku sudah kehabisan cara untuk melarangku, dengan segala macam hukuman tak membuatku jera dan menyerah. Biasanya jika aku ketahuan karena meskipun aku menyelinap, diam-diam ibuku sudah menungguku di dalam rumah di tempat gelap dan membiarkan aku masuk ketika mendengar suara langkah kakiku, maka ibuku akan marah besar dan aku biasanya cuma bisa menangis meminta ampun, dan disaat itulah ibuku biasanya akan luluh hatinya, karena tak tega memarahi anaknya sendiri. Besoknya aku diceramahi dan diminta tak lagi mengulangi kejadian itu, tapi aku selalu melanggarnya, setiap malam apalagi ketika filmnya bagus.

Sebenarnya, kami bukan tak punya televisi, tapi karena ada aturan ketat yang mengharuskan aku belajar dan tidak menonton film, makanya televisi di rumah tak pernah dinyalakan, kecuali untuk menonton "dunia dalam berita". Dan setelahnya televisi akan dimatikan, dengan rasa penasaranku yang tak bisa disembuhkan karena aku sudah mengetahui dengan persis apa film yang tengah diputar malam itu.

Seperti biasa malam itu, aku melakukan ritual kebiasaanku memanjat dinding rumah dan keluar menonton televisi, dan tanpa disadari malam telah larut, dan tak seperti biasanya ibuku atau tanteku tak menjemputku dan memintaku pulang jadi aku benar-benar terlambat pulang. Seluruh pintu warung telah ditutup, pintu yang biasanya kuganjal dengan sesuatu agar bisa kubuka ketika pulang malam juga telah terkunci. Dan tak ada jalan lain untuk masuk, satu-satunya pilihan adalah memanjat dinding, maka aku mencari jalan dari semua arah agar bisa masuk. Jika melalui jalan belakang tidak mungkin karena aku tak berani, maka aku mulai berusaha memanjat papan pembatas gudang. Ketika tengah bersusah payah memanjat, datanglah petugas keamanan keliling, ketika melihat sosok di kegelapan malam tengah berusaha memasuki rumah  kakek maka ributlah mereka berteriak dan menyoroti aku dengan lampu senter karena di sangka pencuri, bergegas mereka menarikku turun. Maka terjadilah keributan itu, aku bilang aku cucunya kakek, dan kebetulan mereka mengenali aku, maka dengan bantuan mereka yang sebenarnya tidak aku butuhkan aku dibukakan pintu oleh ibuku. Maka mulailah ibuku memarahi aku, hingga tengah malam dan aku mendapat hukuman hingga paginya aku bangun kesiangan dan hampir tak masuk sekolah.

Paginya kisah malam itu menjadi bahan cerita semua orang di rumah dan juga para pekerja yang menertawakan kenakalanku, yang hampir ditangkap petugas jaga malam gara-gara di sangka pencuri di rumahku sendiri. Dan anehnya, kisah tadi tak membuatku jera, karena beberapa malam kemudian aku memulai lagi petualanganku memanjat dinding, mengakali pintu rumah untuk tetap bisa menonton televisi.

Burglar in your own home
by hans@acehdigest

There is my bad habits as a child, always watching television at night. This happens because I'm obsessed with movies, any kind. I always made curious by all kinds of movies, well kids and adult films. Sometimes, I've got news about the movie that will appear later tonight. Because I knew the exact hour, then I became restless when the hour is at hand while I was still in the house. Then furtively after I make sure the film will begin with a glimpse of the second floor of my house towards my friend's Incung house. I immediately rushed in any way to get from home and watch television at home anyone who can I watch. Usually I watch at home Subekti, since made his home in the tailoring business, so it stays open until late at night while waiting for customers who promise to take the stitches in the evening.

Habits become addictive for me, so I never cared if I go out every night, though scolded by my mother almost every day with different penalties. Included is also a way to slip, when I pretended to sleep and when my mother and my brothers had been sleeping, I'll wake up and climb the fence nearly two meters tall. The walls can be climbed up the order because there is a row of tires that are placed on the edge of the fence so as not to easily fall, which was an advantage for me because of a ladder that can help me out.

My mother had run out of ways to not let me, with all sorts of punishment and deterrence do not make me give up. Usually if I got caught because even though I slipped, quietly waiting for me in my mother's house in a dark place and let me in when she heard my footsteps, then my mother will be furious and I usually can only crying for mercy, and that's when my mother usually will melt her heart, because no heart to scold her own son. The next day I talked to and asked to no longer repeat the incident, but I always break them, every night especially when a good film.

Actually, we do not have no television, but because there are strict rules that require me to learn and do not watch movies, so the television at home was never turned on, except to watch "world in news". And after that television will be turned off, with my curiosity that can not be cured because I already know exactly what movie that was playing that night.

As usual that night, I perform the ritual habit of climbing the walls of the house and came out to watch television, and without realizing it was late at night, and not as usually my mom or my aunt did not pick me up and asked me to come home so I came home really late. The entire stall door is closed, the door is usually I prop with something that can be opened when I got home the night has also been locked. And there's no other way to go, the only option is to climb the wall, so I find a way from all directions in order to enter. If the road back is not possible because I do not dare, so I started try climbing warehouse divider board. When it was struggling to climb, security guards came around, when he saw a figure in the darkness of the night my grandfather was trying to enter the house then they scream and highlight me with a flashlight because the suspected thieves, they rushed to pull me down. Then there was the noise, I said I was his grandson my grandpa and they happen to recognize me, then with their help I do not really I need the door opened by my mom. Thus began my mother scolded me, until the middle of the night and I got a sentence of up to morning I woke up late and almost did not go to school.

The next morning the story of the night it was the story everyone in the house and also the workers who laugh at my
delinquency, a night watchman almost arrested because of the suspected thief in my own house. And oddly enough, the story did not make me wary, because a few nights later I started again my adventures climbing wall, door to outsmart can still watch

Radio Transistor; transistor radios

Bendanya termasuk besar untuk ukuran radio, hampir sebesar kotak televisi yang kita kenal sekarang dengan ukuran kurang lebih 50 inchi. Berbentuk persegi panjang dengan kain penutup berbahan tebal dibagian depannya. Ada deretan tunning pencari siaran dengan alat pemutar yang besar seperti tombol pemutar pada kompor gas atau mesin cuci. Radio transistor itu berwarna peach dan kream, indah sekali, karena di masanya hanya beberapa orang yang bisa memiliki benda itu, karena televisi juga masih terbilang jarang dipunyai oleh rumah tangga.

Mungkin kakek membelinya, atau hasil barter dari bisnisnya. Yang jelas radio itu menghiasi rumah kami sejak lama. Radio itu kami letakkan di antara ruang tengah dan dapur, di kaki tangga dekat loteng kakek. Sekaligus digunakan untuk penghias dan pembatas ruang.

Namun sayangnya di tahun yang tak bisa kuingat, barangkali 1976 atau 1977, aku merusak transistor radio itu, dengan membuka bagian belakang radio dan menarik transistornya itu sendiri. Berupa tabung kecil bening yang berada tepat ditengah radio, seperti jantung bagi manusia. Ketika aku tarik dan putus, maka radio itu berhenti tak lagi bisa bersuara. Kata ibuku, aku memang sering nakal, dengan menjadikan bagian belakang radio itu sebagai tempat persembunyian seperti bagian lemari. Aku masuk ke dalamnya dan tidak memperdulikan apapun yang aklu lakukan termasuk merusak bagian dalam radio yang aku lakukan tanpa aku sadari.

Meskipun kakek sempat marah dan gusar, tapi apa mau dikata semuanya sudah terjadi. Beberapa usaha pernah dilakukan oleh kakek dengan mencari barang pengganti transistor itu, namun terlalu sulit karena ketika itu radio itu telah menjadi barang yang sangat langka onderdilnya. Dan kemungkinan memang tidak lagi diproduksi di pabriknya.

Maka jadilah radio itu barang rongsokan, dan fungsinya berubah menjadi meja dan tempat hias pembatas ruang. Bertahun- tahun aku tak memperdulikan dan ketika kusadari itu sebagai benda yang bernilai tinggi namun semuanya terlambat karena radio transistor telah lenyap tak tahu kemana. Terutama sepeninggal kakek, karena kemudian rumah itu ditempati oleh pamanku.

Transistor radios
by hans@acehdigest

Large for the size of objects including radio, television box almost as big as we know it today with a size of approximately 50 inches. Is a rectangle with a thick cloth made from front section. There is a row of search tunning broadcast with a big player like the player on a gas stove or washing machine. Transistor radios and kream peach-colored, beautiful, because in his time only a few people who could have it, because television is still relatively rarely possessed by the household.

Maybe my grandfather bought it, or the result of business bartering. What is clear is that radio decorate our house for a long time. We put the radio in between living room and kitchen, at the foot of the stairs near the attic grandfather. Once used to decorate and a room divider.

But unfortunately in the years that I can not remember, maybe 1976 or 1977, I damaged the transistor radio by opening the back of the radio and pull, transistor itself. Nodes form a small tube which is right in the middle radio, such as the heart of human. When I drag and drop, then the radio stopped no longer have a voice. Said my mother, I was often naughty, by making the back of the radio as a hiding place as part of the cabinet. I got into it and disregard anything that I do include damage to the inside of the radio which I did without me knowing it.

Although my grandfather was angry and upset, but what can I say everything is happening. Some effort was made by my grandfather to look for a replacement item of transistors, but when it's too difficult because the radio has become a very rare item spare parts. And chances are no longer manufactured in the factory.

Then be that radio junk, and its functions turned into a table and place decorative room divider. For years I did not care and when I realized that as a high-value items, but it's too late since the transistor radio was gone did not know where. Especially after the death of my grandfather, because then the house was occupied by my uncle.

Loteng warung dan Stikerku; Attic and sticker

Entah kenapa aku masih terus mengingat satu hal ini, barangkali ketika aku meninggalkan rumah di pertengahan tahun 1979, aku memang sedang memulai koleksi stiker hitam putihku. Ternayata minatku ke warna hitam putih memang sudah sejak dari dulu. Koleksiku itu kusimpan ditempat yang agak aneh, penutup atap warung yang terbuat dari bahan unik, anyaman tipis karet bekas ban mobil yang dirancang sendiri oleh kakekku. Ide ini orisinil dan barangkali ketika itu hanya rumah kami yang mempunyai materi interior unik seperti itu, kakekpun menggunakan limbah sisa karet dari pembuatan benda lain.

Ditempat yang aneh dan unik itulah tak ada seorangpun yang menyadari jika aku menyimpan puluhan, bahkan hampir seratusan stiker yang kubeli secara sembunyi-sembunyi selama waktu yang tak bisa kuingat lagi. Sesekali aku memanjat untuk menambahkan koleksi sambil mengintip berapa banyak koleksi yang sudah terkumpul, sambil memastikan semuanya masih aman di tempatnya.

Biasanya aku memanjat dari petak lemari pajang di sebelah kanan warung, memanjat perlahan ketika para pekerja sedang istirahat, karena jika ketahuan maka mereka akan gaduh, seperti ada huru hara, karena ada cucu majikannya memanjat lemari yang pasti bisa membahayakannya, dan dengan cepat aku akan ditangkap dan segera diturunkan. Padahal maksudku cuma untuk mengintip koleksi gambarku.

Dengan kerja kerasku yang begitu besar, dan kemudian aku tinggalkan begitu saja, aku selalu merasa penasaran, karena pada awalnya ketika aku diajak ayahku ke bandung di tahun 1978 itu, tak terpikirkan olehku aku akan pergi untuk waktu yang sangat lama, bahkan hampir semua jenis mainanku yang kusimpan ditempat-tempat aneh dirumah sebagai rahasia persembunyian semua "hartaku", akhirnya kutinggalkan dengan sia-sia, karena aku juga kesusahan berkomunikasi dengan adik-adikku, sehingga aku tak bisa mengirim pesan sekedar bilang bahwa mereka berdua boleh mengambil apapun yang kumiliki untuk mereka semua.

Diantara rasa penasaran itu, ketika aku berkunjung kesana aku berkesempatan untuk mengobati rasa isengku, apakah semuanya masih berada di tempatnya seperti semula atau benar-benar sudah berganti. Ternyata 180 derajat semuanya hilang, termasuk radio transistor yang kupikir bisa kuambil sebagai sisa kenangan yang paling aku impikan.

Attic stall and my sticker
by hans@acehdigest

Somehow I still remember this one thing, maybe when I left home in mid-1979, I am currently starting my white black sticker collection. Its turns out my interest to black and white had been since the first. I kept my collection was a rather strange place, stall roof coverings made of unique material, a thin rubber matting used automobile tires are designed by my grandfather. The idea was original and perhaps when it is only our house that has a unique interior material like that, grandpa using residual waste from the manufacture of rubber other objects.

In that's
strange and unique place that no one was aware if I save tens, even hundreds of stickers which I bought almost clandestinely during the time that I can not remember anymore. Every now and then I climbed up to add a collection of peering how many collections that have been collected, while making sure everything is still securely in place.

Usually I climbed from the showcases plot on the right stall, climbing slowly when workers are resting, because if caught they will be noisy, like a riot there, because there are grandchildren master closet that can certainly climb harm, and quickly I would was arrested and immediately taken down. And I mean just to peek at my picture collection.

With my hard work is so great, and then I leave it alone, I always find it curious, because at first when I invited my father to Bandung in 1978 was, not I think I'll go for a very long time, almost all kinds of toys I kept at home in places strange as confidential hiding all my "treasure", finally left in vain, because I also trouble communicating with my brothers, so I can not send a message just saying that they both should take whatever I have for them all.

Among curiosity, when I visit there I had the opportunity to treat the curiosity, if everything is still in place as before or really had changed. 180-degree turns are all lost, including a transistor radio that I thought I could pick up as the rest of the best memories I dream of.

Kamis, 19 Januari 2012

Kerupuk Legendar; crackers legendar

Dibelakang rumahku ada pintu keluar terbuat dari besi yang bisa didorong untuk membukanya, pintu itu terhubung ke bagian belakang rumah, menyusuri parit kecil comberan yang dipenuhi ribuan cacing tanah, yang biasanya kami pakai juga untuk memancing.
Dari situ ada jalan tikus, melintasi sumur yang berisi belut "besar" seperti yang pernah kuceritakan dulu, tempat para ibu-ibu mencuci, hampir mirip dengan sumur umum, karena para kusir dokar juga mengambil air disana untuk memberi minum kuda dan memberi campuran dedak dan air untuk makanan kuda.

Dan disebelah kiri sumur itu ada halaman luas milik orang kaya lama di pinggiran kota kami, beberapa anaknya sakit dan telah lama meninggal sehingga hanya tinggallah nenek itu sendirian dengan Hisbullah anaknya yang bungsu yang juga menderita sakit ingatan sejak lama dan tinggal terkurung di bagian kamar depan rumah itu, dengan jendela berjeruji kayu yang selalu terbuka. Kami biasanya mengganggunya, meskipun kadang-kadang kami merasa kasihan, tapi namanya anak-anak kadang-kadang memang bertingkah aneh, sesekali baik besoknya berubah nakal dan iseng dengan begitu cepatnya.

Dan di halaman yang lumayan besar hampir seribu meter itu, menjadi tempat arena permainan kami, bermain layangan, engklek, berkejaran, tapi hanya disiang hari, dimalam hari tempat itu menjadi sunyi karena selain didepannya berbatas dengan jalan sepi yang berseberangan dengan pabrik plastik dan las cat duco yang di malam hari tutup. Ditambah lagi rumah sebelah kanan halaman itu juga mempunyai kebiasaan aneh suka memajang poster film bioskop, bahkan film yang paling horor sekalipun, penghuninya juga suka aneh-aneh kelakuannya. Kami anak-anak berpikir, jangan-jangan gambar itu pada malam hari akan menyelinap keluar dan mengganggu kami, makanya kami malas main disana pada saat malam hari kecuali di malam terang bulan, itupun sesekali jika ramai teman yang mengajaknya, kami biasanya bubar jika malam makin larut atau para pemilik rumah berteriak mengusir kami untuk segera pulang karena kami dianggap membuat keributan.

Di halaman besar itu juga nenek pemilik rumah itu selalu menjemur, sejenis kerupuk yang biasa kami sebut "legendar", kerupuk dari nasi atau ketan berwarna kuning hampir mirip kerupuk tempe. Kerupuk dijemur di atas lembaran sejenis tampi yang berbentuk persegi empat terbuat dari lembaran bambu yang dianyam. Dan agar tidak terganggu binatang terutama ayam atau anak-anak, kerupuk tadi dijemur dengan digantung. Karena kerupuk itu selalu menggoda kami, terutama ketika kami sehabis bermain dan tak memiliki apapun yang bisa menjadi camilan, sementara makanan lain tak ada. Karena  kalau kami bosan, selalu makan anak nangka yang masih kecil maupun anak mangga mentah, maka satu-satunya  pilihan adalah berusaha memanjat atau menggunakan galah untuk merontokkan beberapa kerupuk legendar yang telah kering, dan berebutan memakannya. Dengan satu syarat tak boleh terlihat oleh nenek itu, karena bisa marah besar dan akan mengusir dan mengejar kami meskipun dengan jalannya yang sudah membungkuk pasti kalah cepat dengan kami anak-anak yang berlari riang dan lincah. Tapi sebenarnya nenek itu tak begitu mempermasalahkan, karena kalau memarahi kami, hanya untuk mengingatkan agar kami tidak mengambilnya berlebihan, secukupnya saja. Karena toh jika dimakan sendiri oleh si nenek dan anaknya, kerupuk sebanyak itu tak akan habis, kecuali kalau tanpa sepengetahuan kami nenek itu juga menjualnya kepasar, jika itu benar maka hebat juga si nenek dengan kondisi yang begitu renta dan sendiri dirumahnya yang besar, masih sanggup mandiri, tak pernah mau berhenti bekerja.

Kerupuk legendar mungkin memang salah satu jenis camilan khas di tempatku,tapi aku tak tahu pasti, hanya saja namanya yang tak asing buatku, meskipun aneh menunjukkan jenis camilan itu memang sudah terbiasa ada di tempatku. Biasanya sebelum digoreng, legendar berukuran  kurang lebih lima kali lima centi meter tapi jika sudah digoreng dan dibiarkan tanpa dilipat dua besarnya menjadi hampir sebesar setengah lembar buku tulis. Berwarna kuning dengan rasa yang sedikit aneh, pahit gurih, mungkin karena menggunakan ragi untuk membuatnya sedikit mengembang. Kerupuk ini juga tak terlalu tebal, sehingga renyah, begitupun dalam kondisi mentah jika sudah kering terjemur matahari seharian akan terasa renyah juga.

Dan soal nenek tadi, beliau akan tahu kerupuknya hilang jika seharian kami mencurinya terlalu banyak, sehingga ada satu bagian  dari lempengan bambu tak lagi terisi, tapi jika kami mengambilnya acak dari semua bilah lembaran bambu nenek itu tak akan menyadari kalau seharian tadi kami sudah mencurinya. Tapi kebiasaan itupun hanya kami lakukan sesekali, terutama jika kami tongpes alias kantong kempes, karena kami tak punya uang sepeserpun.

Crackers Legendar
by hans@acehdigest

Behind my house there is a door made out of iron that could be encouraged to open, the door is connected to the rear of the house, down a small trench gutter filled with thousands of earthworms, which normally we use also for fishing.
There's a way of mice, through the wells containing the eel "big" as I told you before, where mothers wash, almost similar to public wells, because the coachman gig there as well to fetch water to water their horses and gave a mixture of bran and water for horse food.

And to the left of the well there is a rich woman's broad pages long on the outskirts of our town, some of the sick child and has since gone so just stay with my grandmother was alone with Hezbollah his youngest son who also suffered from memory for a long time and stay cooped up in the front room of the house that, with wooden bars on the windows are always open. We used to bother him, although sometimes we feel sorry, but the children sometimes do behave strangely, occasionally both naughty and fun the next day changed so quickly.

And in a fairly large page nearly a thousand feet, it becomes the arena where our games, flying kites, engklek, chased each other, but only in the daytime, at night it becomes quiet because in addition to front boundary with the road opposite the deserted factory welding plastic and workshop paint duco that close in the night. Plus the house right of the page it also has a strange habit of posters like movie theaters, even the best horror films though, residents also like strange behavior. We all the children think, lest the picture at night would sneak out and bother us, so we are lazy to play there at night except on moonlit nights, and even then sometimes if busy friend who asked, we usually disband when the night more soluble or homeowners yell drive us to go home because we considered making a fuss.

In the yard of the homeowner was also grandmother was always hanging out, a type of crackers which we call "legendar", crackers from rice or glutinous yellow almost like tempeh crackers. Dried crackers on the sheet of tampe kind of rectangular sheets made of woven bamboo. And that is not compromised animals, especially chickens or children, crackers were dried by hanging. Since crackers are always teasing us, especially when we have after every play and not anything that could be a snack, while other foods do not exist. Because if we get bored, always eating the young jackfruit or raw mangoes, then the only option is to try to climb or use the pole to shed a few crackers legendar dry ones, and scrambling to eat it. With one condition must not be seen by the old woman, because it can be furious and will repel and pursue us even with the course that has been bent will lose quickly with our children who ran cheerful and lively. But the grandmother was not actually so concerned about, because if you scold us, only to remind so we do not take excessive moderation. Because after all if eaten alone by  grandmother and her son, crackers as much as it would not be exhausted, unless unbeknownst to our grandmother was also sold to the market, if it were true it's also great grandmother to the condition that is so old and alone at home is great, still able to independent, never want to stop working.

Crackers legendar may indeed one kind of typical snacks in my place, but I do not know for sure, it's just a familiar name for me, although the odd indicates the type of snacks that are already accustomed to in my place. Usually before frying, legendar measuring approximately five times five centi-meter, but if it is fried and left without folded in half to nearly the size of half a sheet of notebook. Yellow with a slightly odd taste, savory bitter, probably because of using yeast to make it a bit fluffy. Crackers are also not too thick, so crispy, as well as in raw condition if it is dry in the sun all day it will feel too crunchy.

And about the grandmother said, she would not know that cracker lost if we steal it too much all day, so there is one part of the bamboo plate is no longer occupied, but if we pick at random from all the sheets of bamboo slats grandmother would not have realized that we had stolen a day earlier. But our ability to do even then only occasionally, especially if we are "tongpes" or we have nothing in our pockets, we means money.