Kapal besar itu panjangnya hampir sepuluh kali rumah kakekku, dan besarnya bahkan hampir 50 kalinya. Aku tak ingat apakah aku harus ke jakarta dulu dari Cibugel, Sumedang atau langsung menuju pelabuhan di bandung?. Aku ingat perjalanan itu cukup lama, maksudku untuk menuju pelabuhan, berganti-ganti beberapa mobil sampai akhirnya sampai di Pelabuhan besar. Setelah antrian panjang dan lama, naik kederetan tangga penumpang akhirnya kami sampai di pelataran pelabuhan dengan tangga besar terbuat dari tali yang setiap kali bergoyang apalagi ketika penumpang berdesakan untuk naik ke atas, padahal seingatku ketika itu bukan saatnya lebaran. Mungkin penumpang di kelas bawah yang berebutan naik dan berharap bisa mendapat tempat bagus di dek kapal. Sementara kami memang sudah memesan kamar dengan dua tempat tidur di dalam kapal yang bisa ditempati lima orang sekaligus.
Kami menempati kamar di sisi kanan kapal dari arah ruang nahkoda, kamar itu berada di deretan kedua lantai kapal, dengan jendela bulat yang langsung menghadap ke laut lepas. kami bisa memandanginya dari dalam dengan naik ke bagian atas tempat tidur. Semuanya pengalaman itu menjadi sesuatu yang menarik kecuali satu hal aku suka mabuk laut, sehingga goyangan kapal sekecil apapun tetap saja membuatku mabuk dan serba tak enak. Menelusuri lorong dan jalan kapal menjadi sesuatu yang menarik tapi juga menyebalkan karena gara-gara mabuk laut tadi.
Aku terbiasa menyusuri setiap bagian kapal itu sendirian, seperti layaknya sedang main di daratan. Aku tahu di bagian belakang kapal ada buritan besar tempat orang berolahraga dan duduk santai, sambil memandangi laut yang tersibak di belakang kapal yang membuat lajur panjang seperti garis yang selalu terbentuk ketika dilewati kapal dan kemudian menghilang, begitu seterusnya. Beberapa kawanan lumba-lumba dihari tenang dan cerah kadang-kadang melompat beriringan mengikuti laju kapal seperti bermain dengan induk ikan besar. Aku menikmati turun naik tangga disetiap lorong, kadang-kadang aku mengintip ke dek melihat begitu banyak orang, begitu banyak aktifitas, begitu ribut dengan suara anak-anak menangis atau bermain, aku berpikir aku masih beruntung karena orang tuaku bisa membelikan kami kamar sehingga tak perlu berdesak-desakan di ruang bawah yang panas dan pengap dengan bau mesin kapal dan mobil yang dihidupkan pemiliknya agar bisa menghidupkan AC dan tidur didalamnya, biasanya para supir truk bis dan truk pengangkut barang.
Ritual yang paling aku tak suka, karena harus antrian panjang adalah ketika pagi-pagi sekali kami harus ke kamar mandi, untuk mandi pagi sebelum kami sarapan di ruang khusus. Di saat tertentu ketika aku harus buang air kecil sekalipun harus antri juga, menyebalkan. Karena meskipun kami membeli paket dilengkapi kamar dan paket makan tapi tidak memiliki kamar mandi sendiri, sehingga harus bergabung dan berbagi dengan penumpang lain yang mengambil paket di dek kapal.
Pagi sekali setelah semua aktifitas kamar mandi selesai, aku biasanya diajak ke ruang makan, semacam food court, lengkap dengan meja makan bulat dan kami akan dihidang dengan makanan ringan, dengan tambahan roti lapis selai yang gratis. Beberapa kali aku meminta lebih karena aku tak pernah tahu bahkan jarang barangkali memakan jenis makanan itu, sehingga aku merasa aneh dan menjadi pengalaman luar biasa, dan ketagihan. Aku meminta beberapa lapis yang agak tebal kepada koki kapal, dan biasanya dibantu ayahku dan sedikit rengekan membuat aku leluasa mendapatkan roti tambahan itu. Aku membawanya ke kamar, sebagian kubagikan ke zulfa, satu-satunya adik perempuanku. Sisanya aku nikmati sambil duduk di atas tempat tidur sambil memandangi laut. Tapi pernah juga aku makan sambil bersandar di pagar kapal bagian atas. Bagian ini tidak langsung berbatas dengan laut, masih ada satu lantai di bawahnya dan bagian dek lagi dibawahnya.
Kisah yang paling mengesankan dan juga menyeramkan dari Tampomas I adalah, ketika di hari ketiga perjalanan kami, kami memasuki wilayah perairan Samudera India, dengan pemandangan kota Singapura dari kejauhan dalam kondisi berkabut, namun deretan gedung-gedung menjulang tampak seperti pemandangan gunung-gunung beton yang berderetan. Pemandangan itu tidak saja menakjubkan tapi juga mengesankanku karena indahnya bayangan kota itu dan bayangan betapa besarnya gedung-gedung itu karena masih tampak dari kejauhan laut yang ketika itu memang sedang diwarnai hujan deras dengan angin yang berkejaran. Beberapa penumpang yang tidak mendapat tempat di dek dan menempati dinding disebelah kamar kami dihantam gempuran hujan deras, aku melihat anak bayinya menangis keras, tapi kami tak bisa menolong, karena semuanya tergantung ayahku, bisa setuju bisa tidak, tapi aku juga tak mengajukan penawaran. Hanya bisa miris dan merasa kasihan, sambil berharap mereka dapat tempat berlindung yang bagus dan hujan segera berhenti. Apalagi tak lama setelah mereka berkemas, karena hari tiba-tiba menjadi cepat gelap dan laut semakin tak bersahabat, gelombang laut meninggi, sehingga percikannya kemudian juga sampai ke jendela kamar kami di lantai dua. Bagaimana dengan dek dan haluan kapal?, semua dipenuhi air, aku masih teringat keluarga yang berada disisi kamarku, yang dihari cerah kadang-kadang aku menggoda bayi kecil itu yang tertawa-tawa, aku tak ingat apakah aku juga berbagai roti lapis itu dengannya?.
Lautan hindia memang dipenuhi misteri, misteri tentang tenggelamnya kapal, misteri segitiga bermuda, begitu yang aku baca di buku namun ketika itu aku belum pernah membacanya, baru setelah pengalaman perjalanan itu aku mengetahui bahwa jalur itu merupakan salah satu jalur maut. Setelah badai laut besar hingga malam, paginya kami mendapati kapal sedang melaju dalam keadaan tenang dan bahkan merapat ke sebuah pulau kecil dan menurunkan sekoci dan beberapa penumpangnya, entah penumpang kapal yang turun di pulau kecil yang tak memiliki pelabuhan kapal besar itu, atau sekedar kru kapal yang turun untuk mengambil air dan membeli beberapa keperluan, hampir dua jam jangkar tersauh dan kami bisa menikmati kapal tenang tanpa goyangan ombak seperti biasanya. Hampir semua penumpang seperti berusaha menghirup udara segara, berdiri berderet disepanjang pinggiran pagar kapal, melihat pantai dan deretan perahu-perahu kecil nelayan yang berada di sepanjang pantai itu.
Badai besar malam itu menjadi catatan sendiri buatku, karena kemudian seingatku aku juga mengalami kisah yang hampir sama hanya saja di pengalaman keduaku aku naik perahu nelayan kecil dengan muatan 30-orang ditambah beberapa ekor ternak. Setelah kunjunganku dengan kapal itu hingga besar kemudian dan bekerja aku naik kapal hanya dalam hitungan jari. Apalagi kemudian aku mendengar kabar setelah sampainya kami di pelabuhan, kapal sejenis, maksudku Tamponas II, tenggelam di lautan hindia dengan membawa serta hampir seluruh penumpang beserta isi lainnya. Aku shock, tak percaya pada kenyataan bahwa saudara kapal yang pernah aku tumpangi itu tenggelam di tempat yang sama dengan ketika kami juga di hantam badai. Peristiwa itu terjadi sekitar desember 1979 atau januari 1980. Pokoknya tak berselang lama sejak kami naik Tampomas I itu. dan Aku pikir ketika itu, Tampomas I akan menjadi pengalaman pertama dan terakhirku naik kapal, karena meskipun ketika aku kecil aku bercita-cita menjadi seorang perwira angkatan laut, ketika aku melihat dahsyatnya peristiwa Tamponas aku berkecil hati dan bersyukur aku cuma bermimpi. Dan setelahnya aku tinggal di kampus semua pikiranku tentang perwira apalagi militer menguap dan aku bahkan kemudian bercita-cita menjadi bankir. Tak aneh, semuanya bisa berubah dengan mudah karena aku masih anak-anak.
Sayangnya aku tak pernah menyimpan berkas tentang kejadian memilukan itu, aku berharap bisa mengingat dari gambar tentang betapa luar biasanya cerita itu. Tapi edisi khusus tempo yang pernah aku dapatkan dari tetanggaku kalau tak salah menyimpan catatan kecil tentang itu. Setidaknya aku bisa sampaikan keorang-orang bahwa aku pernah naik kapal sejenis, Tampomas I namanya. Dan aku juga pernah mengalami badai laut besar yang membuatku trauma hingga aku besar kemudian.
Tampomas I; My First Journey
by hans@acehdigest
Large ship nearly ten times the length of my grandfather's house, and the amount of time even close to 50. I do not remember if I had to go to jakarta first of Cibugel, Sumedang or directly to the port in Bandung?. I remember the trip was quite long, I mean to get to the port, changing some of the car until it arrived at the Port of. After a long, long queues, up to row passenger stairs we finally reached the court of the harbor with a large ladder made of rope swing every time especially when passengers crammed to rise to the top, but I remember when it was not the time widths. Perhaps the lower-class passengers who scrambled up and hoping to get a good spot on the deck of the ship. While we had already booked a room with two beds on the ship that could be occupied five people at once.
We occupy a room on the right side of the space ship captains, the room was located on the second floor of a row of ships, with a round window that directly overlooks the sea. we can look at from the inside by rising to the top of the bed. Overall the experience into something interesting but one thing I like seasickness, so the slightest wobble board still makes me drunk and completely uncomfortable. Down the hall and the way the ship into something interesting but also frustrating because of seasickness earlier.
I used it along any part of the ship alone, like playing on the mainland. I know in the back of the stern of the ship where people are exercising and sit back, watching the sea that parted at the rear of the ship that made the long rows like a line that is always formed when the ship passed and then disappear, and so on. Some dolphins herd calm and sunny on the day sometimes jump in tandem to keep pace with the parent vessel like playing big fish. I enjoyed the ride down the stairs in every aisle, sometimes I peek into the deck to see so many people, so many activities, so noisy with the sound of children crying or playing, I think I was lucky because my parents could buy us the room so no need to jostling in the basement of a hot and stuffy with the smell of ship engines and cars that are turned on their owners to be able to turn on the AC and sleep in it, usually the bus and truck drivers pickup truck.
Ritual The most I do not like, because they have to queue length is when the early morning we had to go to the bathroom, to shower the morning before our breakfast in a special room. At a certain moment when I have to urinate even have to queue as well, sucks. Because even though we bought the package is equipped room and meal plan but it does not have its own bathroom, so it should join and share with other passengers who take the package on the deck of the ship.
Morning after all the activities of the bathroom is finished, I was usually invited to the dining room, a sort of food court, complete with dining table and we'll round was served with snacks, with additional butter sandwich for free. Several times I asked for more because I never know maybe even a rare type of food it ate, so I feel weird and be a wonderful experience, and addiction. I asked for some layers are rather thick to cook the ship, and usually helped my dad and a little whining makes me free to get the extra bread. I took him to the room, partly to share with Zulfa, the only little sister. The rest I enjoy while sitting on the bed, staring at the sea. But never did I eat while leaning on the top rail. This section does not directly bounded by the sea, there is still one floor below and underneath the deck again.
The story of the most impressive and well Tampomas creepy than I was, when on the third day of our trip, we entered the territorial waters of the Indian Ocean, with views of Singapore from a distance in foggy conditions, but a row of towering buildings looked like a view of the mountains of concrete lined. The scene was not only stunning but also surprises me because the beauty of the city's shadow and the shadow of how great it is because the buildings are still visible from a distance the ocean when it is being marred by heavy rain chasing the wind. Some passengers who do not have a place on the deck and occupies the wall next to our room was hit by the onslaught of heavy rain, I saw her baby boy was crying loudly, but we can not help, because it all depends on my father, could not be agreed, but I also did not submit a bid. Can only be sad and feel sorry for, hoping they can spot a good shelter and the rain soon stopped. Moreover, shortly after they pack up, because the day has suddenly become fast growing dark and unfriendly sea, ocean waves rising, so that sparks and then also get to the window of our room on the second floor. What about the deck and the bow of the ship?, All filled with water. I still thought that was the side of my family, the Day of bright sometimes I smile teasing the little baby who was laughing, I do not remember whether I was also a variety of sandwiches with him? .
The Indian ocean is filled with mystery, the mystery about the sinking of the ship, the mystery of the Bermuda triangle, so that I read the book yet when it I've never read it, just after the experience of that trip I learned that the trail is one of the paths of death. After a huge storm sea until night, morning we found the ship was traveling in a state of calm and even close to a small island and lowered lifeboats and several passengers, some passengers who descended on the small island that has no big ship harbor, or just the crew down to fetch water and buy some purposes, nearly two-hour anchor posted and we can enjoy a quiet ship without the waves rocking as usual. Almost all the passengers as soon sucked in air, stood a row along the edge of fence board, see the beach and a row of small fishing boats that are along the beach.
Big storm the night it became its own record for me, because then I remembered I also had a similar story except that I'm in my second experience of a small fishing boat with a cargo of 30-person plus a few head of cattle. After my visit to the ship later and worked great until I took the boat in just a finger. Moreover, then I heard the news after our arrival at the port, ship type, I mean Tampomas II, sank in the Indian ocean to take along almost the entire passengers and other content. I was shocked, not believing in the fact that his ship was sinking ever I rode in the same place as when we are also in the storm struck. The incident occurred around December 1979 or January 1980. Anyway not long ago since we got Tampomas I was. and I think when it's, Tampomas I will be my first and last experience board the ship, because even when I was little I dreamed of becoming a naval officer, when I saw the enormity of the event Tamponas I get discouraged and give thanks I was just dreaming. And after that I lived on campus all my thoughts about let alone military officers and even then evaporated and I aspire to be a banker. Not surprisingly, everything can change easily because I was a child.
Unfortunately I never kept a file on the incident was heartbreaking, I wish I could remember from the picture about what an extraordinary story. But the special edition tempo I have ever got from my neighbor,save a little note about it. At least I can tell to the others people that I've climbed sister ships, Tampomas I name. And I also experienced a large sea storms that made me a big trauma until later.
Label
10 tahun tsunami.
(1)
2013
(1)
acehku
(1)
Adikku.
(1)
Aku
(5)
Among-among
(1)
Anak-anak
(1)
Anak-Anak Dikutuk
(1)
Angka ajaib
(1)
aqiqahku
(1)
Ayahku
(1)
babak baru
(1)
bakso
(1)
Barzanji
(1)
batu cincin
(1)
belimbing
(1)
Belut Loch Ness
(1)
Belut Sawah; Mancing Belut
(1)
Bibiku
(2)
bioskop misbar
(1)
birtdhday party
(1)
bisnis keluarga
(1)
busur dan panah
(1)
cafe
(1)
capung
(1)
Celengan bambu
(1)
China's Neighbords
(1)
Cibugel 1979
(1)
Cibugel Sumedang
(2)
cinta bunda
(1)
coffee
(1)
cracker
(1)
Curek; Inflammation
(1)
Dapur nenek
(1)
dejavu
(1)
Dian Kurung
(1)
distant relatives
(1)
Dremolem Or Dream Of Land
(1)
es dogger
(1)
es goyang
(1)
es serut
(1)
Fried Sticky Rice
(1)
Gadis Kecil
(1)
gambar desain
(1)
gambarku
(1)
Gandrung Mangu
(2)
golek;nugget cassava
(1)
harmonika kecilku
(1)
Ibuku
(11)
Ibuku Atau Kakakku?
(1)
Ikan
(2)
ikan dan ular
(1)
iseng
(1)
jalan kolopaking
(2)
Jalan Kusuma
(2)
jangkrik Jaribang Jaliteng
(1)
Jenang Candil
(1)
jogging
(1)
Juadah
(1)
Juz Amma
(1)
kakek dan nenek
(3)
kakekku
(3)
kecelakaan fatal
(2)
kelahiranku
(1)
Kelas Terakhir; the last class
(1)
Kembang api
(1)
kenangan
(1)
Kerupuk Legendar
(1)
kilang padi
(1)
Klapertart Cake
(1)
kolam ikan masjid
(1)
koleksi stiker
(1)
koleksi unik
(1)
koplak dokar dan colt
(1)
kota kecil dan rumahku
(1)
Kue tape
(1)
Kutawinangun
(1)
Lanting
(1)
Lebaran
(1)
little cards
(1)
Loteng rumah
(1)
lotere
(1)
lottery
(1)
mainan anak-umbul
(1)
makan
(1)
makkah
(1)
Malam Jum'at
(1)
Mancing Belut
(1)
masa kecil
(11)
masa kecil.
(1)
masa lalu
(3)
masjid kolopaking
(1)
meatballs
(1)
Mengaji
(1)
menu berbuka
(1)
Mercon
(1)
Minum Dawet
(1)
morning walk
(1)
my
(1)
my birth
(2)
my first notes
(6)
my mom
(4)
my note
(27)
Nama ibuku
(1)
Nenek Sumedang
(1)
new round
(1)
new year
(2)
others notes
(1)
ours home
(1)
padi sawah wetan
(2)
pande besi
(1)
Papan Tulis
(1)
Pasar dan Ibuku
(1)
Penculik dan Bruk
(1)
Pencuri
(1)
Perayaan
(1)
Perjalanan 25 Tahun Bag. Pertama
(1)
personal
(1)
Puasa
(3)
radio transistor
(1)
ramadhan
(1)
Roti dan Meriam Kauman
(1)
Rumah Ban
(1)
Rumah Kakek dan Nenek
(5)
rumah karang sari
(1)
rumah kecil di pojok jalan
(4)
rumah kelinci
(1)
rumah kutawinangun
(1)
Rumah Pojok
(1)
rumahku
(1)
Sarapan Apa Sahur?
(1)
saudara jauh
(1)
sawah utara
(1)
sawah wetan
(2)
SD Kebumen
(1)
Sepeda dan Meteor
(1)
shake es
(1)
shalat jamaah
(1)
sintren
(1)
special note
(1)
Starfruit for Mom
(1)
Stasiun Kereta Api
(2)
Sumedang 1979
(1)
Sungai Lukulo.
(1)
tahun awal
(17)
tahun baru
(1)
Taman Kanak-kanak
(1)
Tampomas I
(1)
tanteku
(2)
Tetangga Cina
(1)
The magic Number
(1)
tradisional
(1)
tsunami 2014
(1)
Ulang tahun
(1)
Visionary grandpa
(1)
Wayang Titi
(1)