Label

10 tahun tsunami. (1) 2013 (1) acehku (1) Adikku. (1) Aku (5) Among-among (1) Anak-anak (1) Anak-Anak Dikutuk (1) Angka ajaib (1) aqiqahku (1) Ayahku (1) babak baru (1) bakso (1) Barzanji (1) batu cincin (1) belimbing (1) Belut Loch Ness (1) Belut Sawah; Mancing Belut (1) Bibiku (2) bioskop misbar (1) birtdhday party (1) bisnis keluarga (1) busur dan panah (1) cafe (1) capung (1) Celengan bambu (1) China's Neighbords (1) Cibugel 1979 (1) Cibugel Sumedang (2) cinta bunda (1) coffee (1) cracker (1) Curek; Inflammation (1) Dapur nenek (1) dejavu (1) Dian Kurung (1) distant relatives (1) Dremolem Or Dream Of Land (1) es dogger (1) es goyang (1) es serut (1) Fried Sticky Rice (1) Gadis Kecil (1) gambar desain (1) gambarku (1) Gandrung Mangu (2) golek;nugget cassava (1) harmonika kecilku (1) Ibuku (11) Ibuku Atau Kakakku? (1) Ikan (2) ikan dan ular (1) iseng (1) jalan kolopaking (2) Jalan Kusuma (2) jangkrik Jaribang Jaliteng (1) Jenang Candil (1) jogging (1) Juadah (1) Juz Amma (1) kakek dan nenek (3) kakekku (3) kecelakaan fatal (2) kelahiranku (1) Kelas Terakhir; the last class (1) Kembang api (1) kenangan (1) Kerupuk Legendar (1) kilang padi (1) Klapertart Cake (1) kolam ikan masjid (1) koleksi stiker (1) koleksi unik (1) koplak dokar dan colt (1) kota kecil dan rumahku (1) Kue tape (1) Kutawinangun (1) Lanting (1) Lebaran (1) little cards (1) Loteng rumah (1) lotere (1) lottery (1) mainan anak-umbul (1) makan (1) makkah (1) Malam Jum'at (1) Mancing Belut (1) masa kecil (11) masa kecil. (1) masa lalu (3) masjid kolopaking (1) meatballs (1) Mengaji (1) menu berbuka (1) Mercon (1) Minum Dawet (1) morning walk (1) my (1) my birth (2) my first notes (6) my mom (4) my note (27) Nama ibuku (1) Nenek Sumedang (1) new round (1) new year (2) others notes (1) ours home (1) padi sawah wetan (2) pande besi (1) Papan Tulis (1) Pasar dan Ibuku (1) Penculik dan Bruk (1) Pencuri (1) Perayaan (1) Perjalanan 25 Tahun Bag. Pertama (1) personal (1) Puasa (3) radio transistor (1) ramadhan (1) Roti dan Meriam Kauman (1) Rumah Ban (1) Rumah Kakek dan Nenek (5) rumah karang sari (1) rumah kecil di pojok jalan (4) rumah kelinci (1) rumah kutawinangun (1) Rumah Pojok (1) rumahku (1) Sarapan Apa Sahur? (1) saudara jauh (1) sawah utara (1) sawah wetan (2) SD Kebumen (1) Sepeda dan Meteor (1) shake es (1) shalat jamaah (1) sintren (1) special note (1) Starfruit for Mom (1) Stasiun Kereta Api (2) Sumedang 1979 (1) Sungai Lukulo. (1) tahun awal (17) tahun baru (1) Taman Kanak-kanak (1) Tampomas I (1) tanteku (2) Tetangga Cina (1) The magic Number (1) tradisional (1) tsunami 2014 (1) Ulang tahun (1) Visionary grandpa (1) Wayang Titi (1)

Jumat, 30 Desember 2011

Ayahku ; My Father.

Ayahku lahir di sebuah kampung kecil di pinggiran sungai di dusun Gandrung Mangu. Masa kecilnya yang indah dihabiskannya tidak di kampungny sendiri, tapi justru di banyak tempat di perantauan, Lampung pernah juga menjadi tempat singgahanya. Karena kesukaannya merantau aku tak tahu apakah kemudian ayahku termasuk type orang “home sick”, seperti aku.

Ayahku seperti juga kakekku adalah orang pintar di kampung, menjadi tengku bagi anak-anak kampung untuk belajar mengaji.

Rumahnya adalah sebuah pesantren kecil, tempat anak-anak dari berbagai penjuru kampung belajar mengaji. Dimulai sebelum maghrib mereka berbondong-bondong memenuhi rumahnya sehingga hampir seluruh rumah itu dipenuhi setiap sudutnya dengan anak-anak yang belajar mengaji. Mereka semua membawa daun kelapa kering yang diikat jadi satu, awalnya aku tak tahu untuk apa, barulah ketika mereka pulang mengaji pada malam hari setelah Isya dan membakarnya untuk menerangi jalan pengganti senter barulah aku tahu gunanya.

Ditempat dan lingkungan seperti itulah ayahku lahir, sehingga kemudian ayahku mewarisi banyak kepandaian kakek, termasuk dalam soal mengaji dan menggambar. Karena kakek ternyata seorang kyai yang juga telaten dan piawai memperbaiki jam salah satu yang juga dibutuhkan dalam menggambar. Ayahku kemudian juga dikenal piawai menggambar vigyet, gambar minimalis dengan garis ringan untuk menggambar berbagai bentuk yang juga kukagumi keahliannya.

Dari kampung kecil itu ayahku merantau ke banyak tempat, bahkan menurut cerita ibuku, ketika di SD pun sudah mulai berprofesi sebagai guru dan ketika SMP sudah mengajar SD dan ketika SMA juga mengajar SMP begitu seterusnya berurutan, sampai beliau kemudian menyelesaikan kuliahnya di Jogja, dan menjadi salah seorang yang sukses dikampungnya dengan bersekolah tinggi. Aku ingat ibuku pernah cerita, kakek Gandrung Mangu, walaupun tinggal di kampung cita-cita dan harapannya tinggi untuk anak-anaknya agar bersekolah hingga setinggi mungkin.

Kampung itu berada tak jauh dari stasiun kereta api Gandrung Mangu. Jika kita turun di stasiun, kita harus jalan keluar dari peron, mengambil jalan sebelah kanan lurus sekitar 200 meter, lalu berbelok arah ke kiri dan berjalan lagi sekitar 50 meter dan sampailah di depan sebuah rumah dengan halaman luas hampir 1000 meter persegi dengan sebuah rumah tradisional di tengahnya. Rumah itu berhalaman luas dengan beberapa pohon karsen dipinggirnya dan berjendela dua buah disebelah kanan dan kirinya dengan jeruji dari kayu. Di bagian depannya ada teras yang dibuat dari tanah yang ditinggikan yang di tahan dengan anyaman bambu.Lantai rumah masih dibuat dari tanah tanpa pelapis apapun, sehingga terasa lembab ketika hujan namun tidak panas ketika kemarau. Sedangkan anak-anak yang mengaji belajar di atas “amben” atau balai-balai dari bambu yang  tingginya kurang lebih  setengah meter.

Rumah itu sejak aku kecil disana, sudah dipenuhi tanaman jeruk dan karsen yang selalu lebat dengan buahnya yang tak pernah berhenti ada juga beberapa pohon aneh berbuah warna merah berbuah agak asam manis yang aku lupa namanya, buahnya menggantung di dahan-dahan yang besar, tingginya menjulang sehingga hanya anak-anak yang sudah terbiasa dengan pohon tinggi yang bisa mengambilnya.

Kembali ke soal ayahku, aku pernah menemukan sebuah foto unik milik ayahku yang tengah bergaya ala elvis dan jhon Travolta atau mungkin the beatless, dengan kerah baju yang dinaikkan dan sisiran dengan jambul yang menjulang, lumayan juga gantengnya. Aku bisa melihatnya dari foto yang kutemukan. Aku bahkan pernah menyimpanya beberapa untuk kenangan, mudah-mudahan tak hilang jadi bisa kutunjukkan kepada siapa saja yang bisa membaca tulisan di blog ini.

Begitulah ayahku, dengan sifat lembut dan low profilnya, ayahku dikenal arif oleh adik dan kakaknya, dan selalu jadi tumpuan jika terjadi apa-apa. Beliau juga bisa keras, tapi menurutku lebih tepat tegas, meskipun karena beberapa pertimbangan masih juga suka melunak, misalnya ketika meminta aku untuk selalu menghabiskan maghrib dengan mengaji dan shalat bersama yang kemudian menjadi contekan aku ketika kemudian aku juga punya keluarga sendiri.

Hanya sayangnya ada kisah yang masih belum bisa kupahami dengan jelas berkaitan dengan kisah ibuku, yang menurutku menjadi orang yang terlalu banyak berkorban hati untuk menyayangi kami dengan cara yang tak seperti layaknya ibu biasa, yang bisa ketemu dan berbagi cerita dan langsung bermanja-manja dengan putranya. Tapi sudahlah barangkali memang ada garis yang sudah ditakdirkan menjadi cerita dikehidupan keluargaku.

Seberapa pun kekecewaan yang muncul kemudian berusaha aku tepis, dengan tetap menghormati ayahku, semata-mata karena sayangku yang luar biasa terhadap ibuku sebagai sosok luar biasa yang selalu kukagumi dan kurindukan wajahnya, yang juga sangat menghormati ayahku yang juga suaminya di suatu ketika.

My father 
by hans@acehdigest

My father was born in a small village on the outskirts of the river in the hamlet Gandrung Mangu. His childhood is spent in the beautiful village itself, but rather in many places overseas, Lampung had also become a haven. Because his favorite wander I do not know whether my father later including type of people "home sick", just like me.

My father as well as my grandfather was a smart person in the village, became tengku for village children to learn the Qur'an.

His house is a small boarding school, where children from all over the village to learn the
Qur'an. Starting before sunset they flocked to meet her so that almost the whole house was filled every corner with kids who learn the Qur'an. They all carry the dry coconut leaves tied together, at first I did not know what for, then take your lessons when they come home at night after Isha and burn it to light the way a substitute for a flashlight that I know use. 

Place and the environment as my father was born, so then my father's grandfather inherited a lot of intelligence, including the matter of chanting and drawing. Because my grandfather was a painstaking and clerics who are also skilled at repairing the one that is also needed in the drawing. My father later also known as skilled drawing vigyet, minimalist image with a light line to draw the various shapes that also admire his skills. 

From a small village that my father migrated to many places, even according to my mother's stories, when in elementary school had already started to work as a teacher and when teaching elementary and junior high schools has also taught junior high school when so on in sequence, until he later completed his studies in Yogyakarta, and become successful one in the village with a high school. I remember my mother ever tell me, grandfather Gandrung Mangu, although living in the village of ideals and high expectations for their children to attend school up to as high as possible.

The village is located not far from the railway station Gandrung Mangu. If we go down at the station, we need a way out of the platform, take the right path straight about 200 meters, then turn directions to the left and walk back about 50 meters and came in front of a house with a courtyard area of ​​nearly 1000 square meters with a traditional house in the middle. The house was spacious courtyard with some trees karsen at the edges and two windowed on the right and left with bars of wood. On the front there is a terrace which is made from an elevated ground in the webbing bamboo. Floor resistant houses are still made from the ground without any coating, so it feels damp when it rains but not hot when dry. While the children learn the
Qur'an on the "divan" or couch of bamboo about two feet high.

The house since I was a kid there, already filled with citrus and karsen are always heavy with fruit that never stops there are also some trees bear strange fruit red sweet and sour rather that I forgot its name, the fruit hang in the branches of a large, looming high so that only the children who are familiar with the tall trees that can pick it up.

Back to the matter of my father, I've found a unique photo of my father who was styled a la Elvis and Jhon Travolta or maybe the beatless, with a raised collar and strokes a towering crest, fairly well tiled. I can see from the photos I found. I even had keep it some for memories, hopefully not missing so I can show to anyone who could read the writing on this blog.

That's my father, with a gentle nature and low profile, my father wisely recognized by the brother and sister, and always be the foundation if anything happens. He also can be hard, but I think it is more appropriate assertive, though because of some consideration was also likes softened, for example, when asking me to always spend the sunset with chanting and prayers with which later became cheat me when later I also got his own family.

Unfortunately there is only a story that still can not understand clearly related to the story of my mother, which I thought was a person too much to sacrifice for the love our hearts in a way that is not like a normal mother, who could meet and share stories and direct cuddle with her son . But never mind perhaps there is a line that was destined to be a story of family life squad.

Whatever the disappointments that came later sought me shove, in respect for my father, solely because of its extraordinary love my mother as a remarkable figure who has always admired and missed her face, which also have great respect for my father who is also her husband at one time.

Ibuku Atau Kakakku?; My mother or my sister?

Aku pikir ini cuma cerita biasa, karena menurutku ini cuma soal kecil dan tak aneh. Biasa kan kalau anak kecil suka meniru karena anak kecil seperti burung beo, mengikuti apa yang dilakukan orang lain dan tak mau tahu itu salah apa betul.

Kata orang, karena aku tak merasa salah dengan yang kulakukan jadi aku tak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Sejak kecil aku terbiasa memanggil ibuku dengan kakaksementara  kalau memanggil nenek dengan panggilan “ibu. Kebiasaan orang-orang di rumah memanggil ibuku “kakak”, karena anak paling tua, akibat keseringan mendengar sapaan itu aku juga ikut-ikutan memanggilnya begitu. Meskipun telah berkali-kali ditegur, tetap saja aku dan adik-adikku tak bisa menghilangkan kebiasaan memanggil ibu dengan sebutan kakak.

Orang orang dekat yang mengenal kami sudah terbiasa, paling hanya tersenyum simpul. Tapi bagi tamu yang asing, akan kebingungan dan menanyakan apakah ibu itu adalah kakaknya anak-anak (maksudnya kami?). Disitulah kelucuan itu terjadi, karena orang kemudian tertawa heran dan aneh dengan cara kami memanggil ibu kami.

Ibu ingat betul dengan cerita ini, karena selalu diprotes orang. Dan kisah ini menjadi kenangan lucu mengingat masa kecilku, yang tak lama aku nikmati bersama ibu, karena kemudian kami berpisah ribuan mil di sebuah tempat yang sangat asing pada mulanya, namun kemudian menjadi bagian dari hidupku juga.

My mother or my sister?
by hans@acehdigest

I think it's just an ordinary story, because I think it's just a matter of small and weird. Not unusual when a child because children like to imitate like a parrot, to follow what other people do and do not want to know it's wrong what's right.

They say, because I do not feel I have done wrong so I do not know what exactly is going on. Since childhood I used to call my mother with "sister" as if calling grandma to call "mother". Habits of the people at home to call my mother "sister", because the oldest child, due to its frequency to hear the greeting that I also went along to call her so. Although it has repeatedly rebuked, yet I and my brothers could not eliminate the habit of calling the mother with the title "sister".

People who know someone close to us have been accustomed, most just smile. But for foreign guests, will be confused and ask if the mother is the sister of children (meaning us). There is where cuteness is happening, because people then laughed wonder and strange in a way we call our mother.

Mother remembered well with this story, because people always protested. And this story be funny to remember my childhood memories, which not long I enjoy with my mother, because then we split up thousands of miles in a very strange place at first, but later became part of my life, too.

Minum Dawet ; Drinking Dawet

Minuman ini namanya aneh "dawet" apa artinya aku tak tahu dengan pasti, karena orang menyebutnya begitu, ya begitulah minuman itu namanya. Minuman ini sehat karena dibuat dari olahan daun tertentu dengan pewarna hijau dari daun pandan.

Bentuknya mirip cendol, tapi ada bedanya, cendol biasanya campurannya banyak, ada tape, roti, kacang merah yang direbus, santan, dan tak lupa gula “gila” cair. Tapi sebaliknya dengan dawet cukup dawet sendiri ditambah santan dan gula gila tadi. Maksudku dawet berisi dawet?, yang dibuat dari tepung ketan?, sebenarnya aku tidak tahu apakah yang hijau itu dawet dan dibuat dari tepung ketan, direbus dan menjadi kenyal berwarna hijau karena diberi pewarna dari daun pandan.

Yang aku tahu, dulu dawet dijual dengan dipikul, disimpan dalam guci atau kendi dari tanah liat, sehingga membuat dawet tetap sejuk, dingin dan segar tanpa perlu menggunakan es batu atau dimasukkan dalam kulkas. Biasanya aku membelinya di pasar kebumen, karena disana biasanya ibuku membelikanku waktu aku menemaninya belanja. Aku ingat wajah manis ibuku ketika mengajakku minum dawet, membiarkan aku minum duluan, sambil memandangiku sambil tersenuyum dan merasa bersalah, karena aku menjadi kepanasan dan kehausan sehabis keliling pasar. Ibuku suka beli dawet karena satu alasan, kata ibu sambil membantu orang, kasihan penjualnya sudah tua, ibuku orangnya agak perasa, gampang sedih kalau melihat orang tua jualan, malah kadang-kadang tak suka menawar. Aku kemudian suka mengikut sifat ibuku itu terutama ketika aku besar kemudian.

Penjualnya orang karang sari, berambut putih dan orangnya ramah. Tidak tahu kenapa para penjual dawet hanya orang tua, mungkin yang muda-muda tak lagi mau menjual minuman yang terkesan murahan.

Drinking Dawet
by hans@acehdigest
Mungkin maksud Anda adalah: Ibuku Dan Kakakku?Ketikkan teks atau alamat situs web atau terjemahkan dokumen.
Batal Terjemahan Bahasa Indonesia kThis drink named strange "dawet" what does that mean I do not know for sure, because people call them that, yes that's the drink its name. This drink is healthy because it is made from processed certain leaf with green dye from the leaves of pandanus.

It looked like cendol, but no difference, cendol usually mixtures lot, tape, bread, boiled red beans, coconut milk, and do not forget the "crazy" sugar. But contrary to his own dawet enough coconut milk and crazy sugar .I mean dawet content dawet?, Which is made from glutinous rice flour?, Actually I do not know what it dawet green and made ​​of glutinous rice, boiled and become supple since been colored green from pandanus leaves.

All I know, it used to be borne dawet sold, stored in a jar or jars of clay, thus making dawet stay cool and fresh without the need to use ice cubes or put in refrigerator. Usually I buy it on the market Kebumen, because there is usually my mom bought me when I was shopping with her. I remember my mother's nice face when it took me a drink dawet, let me drink first, looking at me and feel guilty, because of I become heat and thirst after we were around the market. My mother likes to buy dawet for a reason, mom said as she helped people, sorry for the seller is old, my mother is rather sensitive person, easily upset when they see people selling old, sometimes even do not like to haggle. I then like to take my mother's nature, especially when I was big then.

The seller came from Karang Sari, white-haired and friendly person. Do not know why the seller dawet only the elderly, the young may no longer want to sell drinks that seem cheap.

Anak-Anak Yang Dikutuk ; Children Condemned.

Cerita ini seperti misteri buat kami. Di belakang rumahku yang berbatas dengan tembok rumah haji Rohmat dan toko grosir telur ada sebuah kandang kerbau besar, yang disampingnya ditumbuhi banyak pohon buah, diantaranya buah sawo. Pemillik rumah itu adalah orang kaya ditempatku, tapi itu dulu, ketika masih ada beberapa toko yang disewakannya kepada para etnis cina pengusaha di daerah Kusuma dan Kolopaking. Kemudian karena untuk berobat, dijual beberapa tokonya.

Pemiliknya seorang nenek, dia sebenarnya baik menurutku, karena ibuku beberapa kali main kesana dengan mengajakku dan kami disambut baik, sambil berbasa-basi, karena nenek itu selalu mengumpulkan kayu dan menjerang air, dirumahnya yang suram dan gelap. Menurut cerita yang tak jelas beredar dari mana, nenek itu bukan nenek sembarangan, anak-anak ada yang menyangka sebagai nenek sihir, apalagi rumahnya selain besar juga gelap dan kelam tanpa lampu kecuali hanya nyala api tungku kayu di dapurnya yang seperti tak pernah berhenti menyala.

Belakang rumah dipenuhi dengan kumpulan kayu bakar yang diperolehnya dari kebun disekitar belakang rumahnya, disana juga ada kolam besar (aku pernah mendapatkan ikan super besar nanti aku akan ceritakan tersendiri).

Di samping kolam itu konon pernah ada anak-anak yang berusaha mencuri buah sawonya. Waktu anak-anak naik, tak ada kejadian apa-apa, begitu juga waktu mereka mulai makan buah sawo. Tapi menurut cerita, waktu mereka mau turun dari pohon, barulah badan mereka tiba-tiba lengket. Mereka merasa seperti tersesat dan teriakan mereka tak bisa didengar dan mereka tak bisa lepas dari pohon sawo kecuali kalau si nenek tadi yang meminta mereka turun. Gara-gara kisah itu mendekati pohon saja kami takut, apalagi mengambil buahnya. Apalagi kalau sampai terlihat nenek itu melintas, kami akan pontang-panting berlarian menghindari “sihirnya”. Padahal kata orang pintar nenek itu hanya mendoakan agar pohon dan buah itu dijaga dari para pencuri karena nenek itu sudah tua, pikun dan tak berdaya melawan, itu saja tak pakai sihir dan jin.

Kisah anak-anak yang dikutuk itu menjadi pelajaran bagi kami semua agar tak pernah mencuri, lebih baik memintanya, karena nenek itu mau memberikan berapapun banyaknya sawo yang kita mau, jika memintanya baik-baik.


Children Condemned.
bny hans@acehdigest

This story is like a mystery for us. Behind my house is bounded by the walls of houses Haji Rohmat and grocery stores eggs there is a large byre, the overgrown lot next to the fruit trees, including sapodilla fruit. Whose house it is the rich places, but it used to, when there are still some shops that rent out to the ethnic Chinese entrepreneurs in the area Kusuma and Kolopaking. Then due to treatment, sold some of her store.

The owner of a grandmother, she was actually good I think, because my mother played there a few times with me and we were welcomed, while making small talk, because that grandmother was always collecting wood and water to boil, her house is gloomy and dark. According to the story of obscure circulation of nowhere, that grandmother carelessly open, the kids there who thought as a witch, let alone her home in addition to big and too dark with no lights except for a dark flame wood stove in her kitchen like never stops burning.
Behind the house is filled with a collection of firewood obtained from the garden around the back of the house, there was a large pool (I ever get super big fish I'll tell you later).


Behind the pool was supposed to have any children who tried to steal the sapodilla fruit. When the kids go up, nothing happens, so when they start to eat the fruit sapodilla. But according to the story, when they want to come down from the tree, then the body suddenly sticky. They feel like they lost and cries could be heard and they can not escape from sapodilla tree until the old woman who had asked them to come down. Because the story was just we were afraid to approach the tree, let alone take the fruit. Especially if it looked grandmother had crossed, we will be running helter-skelter to avoid the "magic". And smart people said the old woman just pray that the fruit trees and guarded from thieves because that grandma was old, senile and helpless against, it just did not use magic and jinn.


The story of children who condemned it as a lesson to us all to never steal, better ask her, because the grandmother was willing to give any amount of sapodilla fruit that we would, if asked carefully.

Dremolem Or Dream Of Land


Entah aku yang salah mengeja atau memang ada nama dan maksud yang berbeda. Kami anak-anak kadang-kadang punya cara sendiri dalam mengeja kata. Jungle Jim misalnya kami sebut dengan junglejim tanpa jeda dan dibaca letterluks persis seperti bentuknya, what you see is what you get

Dremolem adalah cara kami menyebut komidi putar. Wahana bulat berdiameter tak lebih besar dari 5 meter, dengan deretan kursi disekelilingnya yang sandarannya sekaligus dijadikan pagar pembatas agar tak terlempar dan jatuh. Penumpang atau siapapun yang naik wahana bertanggung jawab pada dirinya masing masing tak di ikat dengan tali pengaman. Memang tingginya tak terlalu jauh dari tanah, walaupun begitu pasti akan terasa sakit jika jatuh pada saat komidi berputar kencang apalagi ketika mencapai ketinggian puncak sekitar  4 meter dari tanah.

Ketika memutuskan naik kita harus siap dan berani, karena tak ada peringatan yang menyebutkan yang sakit jantung dilarang naik, kecuali disampaikan lewat pengeras suara, kadang-kadang terdengar kadang-kadang tidak. Kalau setelah naik masih takut juga, satu-satunya jalan adalah berteriak sekeras-kerasnya supaya jantung kita merasa ringan, paling tidak 25 % ketakutan bakal hilang. Tapi jangan pejamkan mata karena bisa pitam. Meskipun begitu orang-orang banyak yang penasaran dan mencoba-coba lagi.

Yang yang paling menakutkan dari dremolem , bukan jatuhnya, tapi justru sensasi saat melayang tinggi dan tiba-tiba menurun seperti meluncur yang membuat bukan cuma badan kita terasa merosot, tapi jantung kita yang merosot persis seperti jatuh dari ketinggian.

Dreamolem tidak selalu ada, mungkin dalam setahun hanya sekali ketika tujuh belas Agustusan, atau ketika ada acara hiburan tutup akhir tahun. Karena kebetulan tempat yang paling strategis di stamplat colt depan rumah, jadilah dreamolem hiburan gratis. Pada hari ketika malam puncak itu tiba, diantara pameran-pemeran yang juga dilakukan, orang berjejal berebutan untuk bisa naik dremolem itu. Seingatku memang tak ada jenis hiburan lain selain itu, jika ada pilihan lain cuma ada bioskop misbar alias gerimis bubar. Karena layar dipancang di tiang besar di tengah lapangan dan setiap orang bisa menonton dari segala penjuru, bahkan dari bagian belakang meskipun membaca teks filmnya terbalik. Satu-satunya halangan yang bisa membatalkannya cuma hujan. Film bisa saja tetap diputar karena diputar dari dalam mobil tapi penonton tak mungkin menikmati film dilapangan terbuka di hari hujan dengan tanah becek, apalagi jika disertai petir dan kilat serta guntur yang menggelegar.

Tapi kapanpun dremolem di gelar selalu menjadi kenangan bagi banyak orang, apalagi bagi mereka yang tinggal di kampung pinggiran, termasuk anak-anak seperti kami, karena selain kami bisa menonton dengan puas, kami bisa berlama-lama bermain-main di malam hari hingga telat tidur, tanpa dimarahi karena acara ini tak setiap tahun ada. Meskipun aku bisa menonton dari depan rumah karena layar itu besar dan menghadap persis ke rumah dan hanya dipisahkan oleh jalan besar selebar 7 meter, tapi menonton dari dekat tetaplah lebih seru, karena ada alas an pulang telat, apalagi menonton sambil jajan kacang rebus yang ramai dijual.

 
Begitulah dremolem menjadi “dream of landkami, meskipun hanya untuk 7 hari dalam setahun.


Dremolem Or Dream Of Land
by hans @acehdigest

Either I was wrong spell or is there a different name and purpose. Our children sometimes has a way of spelling words. Jungle Jim's example, we call junglejim letterluks without pause and read exactly like the shape, what you is what you get.

"Dremolem is the way we call carousel. Forum for the spherical diameter no greater than 5 meters, with a row of chairs around it which rests at the same time so as not to be thrown off the guardrail and fell. Passengers ride or whoever is responsible to himself each was tied with a rope belt. It's not too far from the high ground, although it certainly is going to hurt if it falls at the time of spinning merry-go-especially when it reaches the peak height of about 4 feet off the ground.

When deciding ride we must be ready and brave, because there is no warning that says that heart disease is prohibited ride, but delivered through a loudspeaker, sometimes audible sometimes not. If after the ride was still scared, the only way is to scream bloody murder so that our heart felt light, at least 25% fear will disappear. But do not close your eyes because it can be apoplexy. Yet many people are curious and try again.

The most frightening of dremolem, not fall, but rather a sensation when flying high and suddenly slid down like that makes our body feel not only declined, but our heart sank like a fall from a height precision.

Dreamolem not always there, maybe only once a year when seventeen Agustusan, or when there is entertainment close by year end. Because of coincidence of the most strategic place in front of the house stamplat colt, be dreamolem free entertainment. On the day when it arrived the evening peak, between the exhibition-actor who also carried out, crowding of people scrambling to get up dremolem it. As I recall there is indeed no other types of entertainment besides, if there are other choices except for a cinema "misbar" as "drizzle disperse". Because at stake screen in big pole in center field and everyone can watch from all directions, even from the back while reading the text of the film upside down. The only obstacle that could cancel it just rains. The film could have still played because it plays from the car but the audience can not enjoy the film opens on a rainy day in the field with soil and muddy, especially if accompanied by thunder and lightning and thunder jarring.

But whenever dremolem in the title always be memorable for many people, especially for those living in the outskirts of the village, including children like us, because in addition we could watch with satisfaction, we can linger playing late at night to sleep , without any trouble for this event every year do not exist. Although I could watch from the front of the house because the screen is large and facing right into the house and only separated by a 7-meter wide main road, but keep a close watch more exciting, because there is reason to go home late, let alone eating snacks while watching the bustling sold boiled peanuts .


That dremolem be a "dream of land" we, even if only for 7 days in a year.

Puasa, Roti dan Meriam Kauman; Fasting, Cake and Cannon Kauman

Aku mengingat masa kecilku antara gelap dan terang. Salah satu yang bisa kuingat dengan indah adalah suasana ramadhan, malam sehabis berbuka dengan beriang hati di hari pertama puasa, kami menanti tarawih pertama. Sebagai anak-anak aku hanya ingat kalau mulai malam itu kami akan mendapatkan “hadiah” berupa sajian kue sehabis shalat terawih. Begitu usai shalat, kami duduk berjajar di sekeliling dinding masjid di ruang belakang dekat beranda, karena sudah begitu tradisinya, lalu khadim masjid akan berjalan berkeliling membagikan kami dua potong kue per orang, sambil sesekali melarang anak-anak ribut karena kadang-kadang ada yang berebutan. Itu dilakukan setiap malam selama 30 hari selama bulan puasa. Kue-kue itu adalah sumbangan para penduduk di sekitar masjid.

Ini adalah cara mereka memberi semangat kepada anak-anak agar terus berterawih dan membuat suasana masjid menjadi meriah. Bayangkan saja jika tak ada kami, anak-anak yang kadang-kadang ribut dan berlarian di sekitar masjid menjelang tarawih atau setelah terawih saat dibagikan kue tadi, masjid akan terasa sepi dan sunyi. Ini menjadi salah satu kenangan unik dan indah kami menikmati ramadhan sebagai hari-hari spesial.

Jalan-jalan atau belanja menunggu berbuka dan membeli makanan berbuka yang bermacam-macam rasanya juga menjadi kenangan yang seringkali membuat dada sesak karena haru dan senang. Ditambah lagi ibuku selalu memanjakan kami dengan membeli ayam atau ikan pindang kesukaanku. Aku bahkan selalu menjadi ajudan ibuku berbelanja, sambil sesekali membantu membawa belanjaan, jika  terlalu banyak yang harus dijinjing ibuku.

Tapi dari semuanya yang juga merupakan keunikan di karisidenan kebumen, adalah sirene penanda waktu berbuka yang didahului dengan dentuman meriam. Meriam kuno yang berada persis di depan Masjid kauman itu akan dibunyikan sebagai penanda waktu dimulai berbuka puasa. Dan itu dibunyikan setiap sore sepanjang bulan puasa tanpa absen walaupun hujan. Aku pernah bertanya-tanya darimana peluru meriam sebanyak itu, padahal dibunyikan setiap hari selama bulan puasa padahal ketika itu kita tak lagi perang, dan peluru tak tahu didapat dari mana?. Tapi begitulah ada perang atau tidak ada perang, meriam tetap saja menggelegar setiap sore dengan gumpalan asap pekat di udara sebagai tanda buka puasa.

Aku ingat kami semua berkumpul di depan rumah menunggu detik-detik itu. Ketika meriam berdentum  kemudian muncul asap hitam diudara berpendar selama beberapa saat, kami akan langsung berlarian menuju rumah masing-masing, untuk berbuka. Kebiasaan kami memang tidak menunggu berbuka didepan meja makan tapi justru dihalaman depan rumah. Kebetulan depan rumah kami adalah ruang terbuka tanpa pepohonan dan arah yang paling tepat dari tembakan meriam. Tepat dimana titik meriam ditembakkan sehingga dengan jelas tanpa harus berdiripun kita bisa melihat  asap meriam yang hitam kelam begitu peluru ditembakkan. Beberapa anak-anak tetangga juga menunggu di depan rumah kami yang tak berpagar itu. Hari tiba-tiba dengan cepat menjadi malam, dan kami disibukkan dengan kegembiraan berbuka dimeja makan.

Aku pernah sangat penasaran dan berharap bisa menyaksikan langsung meriam itu dibunyikan, aku ingin melihat bagaimana meriam disulut dan mengeluarkan dentuman yang sangat keras.  Meskipun kami bakal telat berbuka karena jarak Mesjid Kauman kurang lebih hampir dua kilo meter jaraknya dari rumah. Kalau kami kesana harus siap dengan bekal puasa supaya kami bisa berbuka di masjid atau dilapangan alun-alun didepan mesjid itu, tanpa perlu terburu-buru untuk pulang,  bahkan kami bisa shalat jamaah disana di mesjid tua yang sangat sakral di daerah kami. Mungkin kami bisa menyebutnya sebagai mesjid raya atau mesjid agung kauman kebumen, mesjidnya para santri dan orang pintar, karena sekarang pun juga masih menjadi pesantren dan tempat mengaji sore anak-anak.

Seingatku setelah melihat langsung, meriam itu memang tepat diletakkan dihalaman depan masjid menghadap ke utara berlawanan dengan kiblat. Meriam menghadap agak keatas untuk mendapat titik tembak yang pas diudara. Mesjid dan meriam itu berwarna hijau agak gelap dan mengkilat, warna tradisional yang khas masa lalu sebagai masjid jaman dulu alias jadul dengan kolam wudhu dan bentuk susun atap yang juga sangat khas rumah joglo.

Puasa selalu memberikan kenangan indah yang tak bisa kami lupakan, terutama dentuman meriam penanda berbuka. Meriam itu asli dan ada namanya, biasa dinamai dengan nama layaknya nama manusia seperti Kyai Kanjeng atau apa. Pokoknya namanya indah dan hebat, entah juga kenapa meriam harus dinamai layaknya manusia?. Tapi itulah tradisi, yang kadang-kadang aneh dan tak bisa dipahami terutama oleh kami yang masih anak-anak, begitu juga dengan alasan kenapa harus membunyikan meriam, kenapa tidak dengan sirene aja, apakah itu tradisi peninggalan kraton atau para wali, untuk memberi daya tarik bagi siapapun termasuk yang tidak berpuasa, seperti dakwah yang unik?, entahlah.


Fasting, Cake and Cannon Kauman 
by hans@acehdigest

I remember my childhood between darkness and light. One that I can remember the wonderful atmosphere of Ramadan, in the evening after the break, with joy especially on the first day of fasting, when waiting for the first tarawih. As a child I only remember when we started that night will get a "gift" of serving the cake after terawih prayers. As soon as prayer was over, we sat around the walls lined the mosque in the back room near the porch, because it was so tradition, and Khadim mosque would walk around to share our two pieces of cake per person, while occasionally prohibits noisy children because sometimes there is a scramble . That is done every night for 30 days during the month of fasting. The cakes are donated by residents in the vicinity of the mosque.

This is their way of encouraging children to continue terawih and create a festive atmosphere of the mosque. Just imagine if we were not there, the children who are sometimes noisy and running around the mosque before or after tarawih when cakes were distributed, the mosque will feel lonely and quite. It became one of the unique and beautiful memories we enjoy ramadan as special days.


Shopping streets or wait for a square meal break and buy a variety of taste also become memories that often make the chest tightness with emotion and delight. Plus my mother is always spoiling us by buying my favorite boiled chicken or fish. I even my mother has always been a shopping aide, while occasionally helping carry groceries, if too much to in tote my mother.


But from everything which is also unique in karesidenan Kebumen, is a marker of time to break the siren that preceded the cannon boom. Ancient cannon right in front of the mosque would be rung Kauman as a marker of time begins to break the fast. And that is sounded every evening throughout the month of fasting without absent despite the rain. I've wondered where a cannon ball that much, but sounded every day during the fasting month but when we no longer war, and the bullet did not know come from where?. But that's war or no war, cannon still boomed every evening with a puff of smoke thick in the air as a sign of breaking fast.

I remember we were all gathered in front of the house waiting for the seconds it. When the cannon booms then appear black smoke in the air shimmered for a moment, we will immediately rush to their homes, to break the fast. Habits we did not wait to break in front of the dining table but rather the front yard of the house. Incidentally front of our house is open space with no trees and the most appropriate direction of cannon fire. Exactly the point where the cannon is fired so clearly without having to stand too we can see dark black smoke cannons so bullets fired. Some neighborhood kids are also waiting in front of our house is not fenced. Day suddenly becomes night quickly, and we were preoccupied with the excitement of breaking the kitchen table.


I had a very curious and hoping to witness the cannon sounded, I want to see how the cannon ignited and took out a very loud bang. Although we would be late breaking due to the distance almost Mosque Kauman approximately two kilo meters away from the house. If we are there to be prepared with supplies so that we can break their fast at the mosque or in the field of the square in front of the mosque, without any need to hurry to go home, even we can pray in the mosque old pilgrims there are very sacred in our area. Maybe we could call it a highway or a mosque grand mosque kauman Kebumen, mosques amongst children and smart people, because even now is still a boarding school and the afternoon chanting children.


I recall having seen directly, that's right cannon placed at page facing the north front of the mosque opposite the qiblat. Cannon facing slightly upwards to get the right point shot in the air. Mosque and the cannon was rather dark green and shiny, the color of a typical traditional past as an ancient mosque aka old school with a swimming ablution and stacking shapes that are also very distinctive roof joglo house.


Fasting is always providing wonderful memories that we can not forget, especially the booming cannon break their bookmarks. Meriam is authentic and there is his name, usually named with the name like a human name like Kyai Kanjeng or anything. Just beautiful and a great name, whether it is also why guns should be named like human beings?. But that tradition, which is sometimes strange and incomprehensible, especially by us who were children, as well as the reasons why must the cannon sounds, why not with sirens wrote, whether it is the tradition of royal relics, or the trustees, to give the attraction for anyone including those not fasting, such as the unique mission?, I do not know.

Kamis, 29 Desember 2011

Rumah Ban; Tire House Or Tired House?

Aku menyebutnya begitu karena ban memenuhi hampir sebagian besar rumah kakek itu. Dimulai dari bagian paling kanan yang sebenarnya adalah garasi, tapi kemudian dialih fungsikan menjadi gudang ban bekas. Begitu juga dengan ruang sebelahnya juga dipenuhi dengan material karet yang telah diolah kasar untuk menjadi bermacam-macam barang kerajinan.

Belakang warung nenek pun menjadi korban untuk tempat penyimpanan. Tapi karena nenek orangnya kalem dan lembut, tak pernah sekalipun mengomel apalagi ngambek karena sebagian lahan usahanya dipakai untuk gudang ban bekas tadi.

Disamping dapur begitu juga, dipenuhi dengan lagi-lagi ban bekas. Termasuk jika sedang banyak stok, ban-ban bekas yang masih bagus kondisinya akan disimpan kakek di ruang tamu atau ruang keluarga. bahkan lantai dua yang pada awalnya kosong, kemudian dipakai untuk gudang galon air, pada akhirnya sebelum beralih fungsi dari rumah singgah merpati yang jumlahnya ratusan ekor menjadi  gudang ban bekas juga.

Ban-ban bekas atau unused itu, disusun seperti gelang-gelang memanjang ke atas. Kami biasanya memanfaatkannya untuk tempat persembunyian ketika main "petak umpet". Padahal bahayanya luar biasa, karena jika kita sampai jatuh ke dalam susunan ban yang tingginya hingga 5 meter dan jumlah susunanya puluhan, itu, maka kita bisa tak diketahui oleh orang lain, karena selain pengap ban bisa membuat lemas dan pingsan, terutama dengan baunya yang khas ban mobil. Kecuali jika ukurannya besar, bahkan berbalik badan didalam pun kita masih bisa. Kita bahkan bisa menjadikannya rumah-rumahan. Kami kadang-kadang membawa nasi siang kesana dan berandai-andai seperti sebuah rumah yang aneh. Karena kami selalu berada dalam lingkungan ban-ban bekas, kami beradaptasi dengan baunya maupun dengan berbagai bahaya yang ada.

Ban-ban itu biasanya tak bertahan lama, dalam waktu sebentar habis dan kemudian kakek akan memesannya lagi. Jika pesanan datang kakek akan memimpin pemilahan jenis ban. Ban-ban yang baru disimpan lebih baik karena kakek akan mengolahnya lagi, jika tidak menjadikannya ban-ban untuk bendi pengangkut barang, kakek akan menjualnya kepada para pemilik truk atau colt yang membutuhkan ban bekas untuk mengganti sementara ban-ban mobil yang aus, karena membeli ban baru lebih mahal, bisa tiga atau empat kali lipat harganya.

Kakek memang dikenal lihai dalam berbisnis ban ini, tidak itu saja, kakek juga sangat menghormati rekanan sesama pedagang dan pesaing, terutama jika para pedagang mainan anak-anak datang ke kota kami menjelang 17 Agustusan untuk memeriahkan hari kemerdekaan dan pameran-pameran kecil di kota dengan menjual mainan anak, berupa gasing seng berbentuk miniatur sepeda motor yang harus diputar dengan tali di rodanya, maupun kapal-kapalan yang harus dipanaskan dulu dengan minyak sebelum akhirnya berjalan dan berputar sendiri di air dalam baskom.

Kakek membiarkan para pedagang musiman itu, mangkal dan bekerja di rumahnya, tetapi dengan perjanjian sewa yang ringan, karena mereka rutin setiap tahunnya menginap di rumah. Mereka tidur dimana saja terutama di bagian tengah rumah yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Dan jika musim hujan tiba, para pedagang itu memanfaatkan ban-ban bekas dengan menyusunnya menjadi empat bagian dan memasang lembaran papan di atasnya menjadikannya seperti tempat tidur sungguhan.

Produk ban bekas memang komoditi dagang andalan kakek, sampai kakek begitu mahir menguasai jalur pembelian dan pemasarannya. Dan ilmu dagang yang kami pelajari adalah fokus dan kuasai minat dagang pada satu hal dengan serius. Jaga kepercayaan dan jadilah profesional. Dengan ilmu itu rumah menjadi kantor dan kantor menjadi rumah sebagai salah satu bentuk pengorbanan dan perjuangan bisnis pun terpaksa dilakukan. Maka jadilah rumah itu "Rumah Ban", "Tire House" bukan "Tired House".

Tire House Or Tired House?
by hans@acehdigest

I call them that because the tire meets most of the grandfather's house. Starting from the far right is actually a garage, but later converted into warehouses of used tires. So is the next room is also filled with a rubber material that has been processed coarse to be a variety of handicrafts.

Rear stalls grandmother was a victim for storage. But because the person calm and gentle grandmother, never once complaining much less cranky because most of its land used for storage of used tires earlier.


Besides the kitchen as well, again filled with old tires. Including if it is a lot of stock, tires are still in good condition will be stored grandfather in the living room or family room. even the second floor that was originally empty, then used to shed gallons of water, in the end before switching function of the halfway house tailed pigeons by the hundreds into the warehouse of used tires as well.


Old tires or unused it, arranged like the rings extends upward. We usually use it for a hiding place when playing "hide and seek". Though extraordinary danger, because if we fall into the composition of tires up to 5 meters high and tens
the arrangement, it is, then we can not be known by others, because in addition airless tire can make a weak and fainting, especially with a distinctive smell car tires. Except if the size is large, even turned inside we still can. We can even make the playhouse. We sometimes bring rice lunch there and wished such a strange house. Because we are always in old tires environment, we adapt to the smell and the various dangers that exist.

Tires usually do not last long, in a short time runs out and then grandfather would order it again. If the order comes grandpa will lead the division type of tire. The new tires are better because the grandfather saved will process it again, if it does not make the tires for the gig carrier, grandfather would sell them to the owners of the truck or the colt who need to replace tires while car tires are worn, because the purchase The new tire is more expensive, could be three or four times the price.


Grandpa was known for shrewd in business these tires, not only that, my grandfather also had great respect for fellow merchant partners and competitors, especially if the traders children's toys come to our town before 17 Agustus-an to enliven the day of independence and small exhibitions in the city with selling children's toys, a miniature top-shaped zinc motorcycle must be played with a strap on wheels, as well as ship-calloused to be heated with oil first before finally walking and turning himself in deep water basin.


Grandpa let's seasonal traders, hung and worked at his house, but with a lease agreement that lightly, because they routinely every year to stay at home. They sleep anywhere, especially in the middle of the house that also serves as a living room. And if the rainy season arrives, the traders use old tires to compile them into four parts and put a board on it to make sheets like a real bed.


The product is a commodity trading used tires mainstay grandfather, until Grandpa was so adept at mastering the purchase and marketing channels. And commercial science we learned was to focus and control the trade interests on the one thing seriously. Keep the faith and be professional. With that knowledge into the office and home office into the home as a form of sacrifice and struggle were forced to do business. Then be the house was "House of Tires", "Tire House" instead of "Tired House".

Rumah Kakek dan Nenek; Grandma and Grandpa House

Rumah kakek memang unik, dibangun dengan bentuk seperti perahu. Ada buritan dengan bagian depan dipasang kaca mobil bekas sedan holden. Dikanan kirinya dihiasai dengan pelak ban dari besi, ada dua didepan disamping kaca dan enam lagi di sebelah kirinya. Kata kakek  pelak tadi bisa menjadi ventilasi udara. Kakek memang selalu memanfaatkan barang bekas menjadi seni. Begitu juga dengan ban-ban bekas yang memenuhi rumah yang diolah menjadi bermacam-macam barang, mulai dari timba sampai sandal karet. 

Aku ingat teman-teman kakek sering main dan berkumpul di rumah, sekedar bermain gaplek atau bernostalgia, kadang-kadang sampai tengah malam. Rumah kakek tak perlu kipas atau AC karena udara terbuka akan bertambah dingin dengan bertambah larutnya malam. Teman-teman kakek juga bebas merokok. Kami biasanya dilarang mendekat karena tak sehat dan membuat baju kami bau tembakau. 

Rumah kakek itu dilengkapi dengan beberapa lampu tapi bukan listrik,  aku tak tahu kenapa kakek tetap saja memasang petromak atau strongking, aku biasa menyebutnya begitu, mungkin itu juga bahasa Belanda. Kata kakek, karena selama penjajahan belanda kakek sudah ada jadinya sedikit-sedikit kakek tahu bahasa Landa (sebutan untuk belanda). Soal listrik tadi rumah kami juga punya televisi, tapi aku tak ingat apakah memakai baterai kering atau pakai listrik. Kakek juga punya beberapa benda sejarah seperti radio transistor yang sangat besar sehingga aku bisa masuk kedalamnya. Tapi tetap saja yang membuat aku penasaran soal listrik  dan strongking tadi, kenapa harus ada keduanya jika mau hemat?. Bisa jadi saat itu listrik masih mahal, sehingga kakek hanya menggunakannya untuk menyalakan televisi, menonton Dunia Dalam Berita dan Siaran Niaga, itupun cuma satu saluran TVRI, dan hiburan lainnya selain itu cuma RRI, selalu berita dan wayang orang.

Bagian rumah yang disukai kakek adalah, halaman tengah yang menghubungkan rumah depan dan belakang. Setiap hari sehabis magrib, kakek selalu meratakan butiran pasir, yang lebarnya hampir seluas lapangan badminton, menjadi rata bersih dan tak sebutirpun sampah yang tersisa. Setelahnya barulah dilanjutkan dengan ritual merokok “sigaret sintren”, sambil melamun memandangi langit, santai luar biasa. Aku tak ingat apakah kakekku juga menyukai kopi?. Tapi yang juga kuingat dari rumah dan kakek adalah kesehatannya yang luar biasa, jarang aku melihat kakek sakit, bahkan kacamatapun tak pernah dikenalnya. 

Rumah kakek juga semacam rumah singgah, meriah jika sudah dikunjungi tamu, baik itu sekedar teman lama atau rekanan bisnis. Jadi rumah itu berfungsi ganda, rumah dan kantor sekaligus, karena kakek memang suka bisnis dan mewariskan darah bisnis, kepada anak-anaknya, karena hampir semua anaknya kemudian meneruskan jejak kakek menjadi pengusaha.


Grandma and Grandpa House
by hans@acehdigest 

Grandfather's home is unique, built in the shape like a boat. There was stern with the front mounted glass used cars holden sedan. Decorated with doubt left on the right tire of the iron, there are two front and six more in addition to the glass to his left. Inevitably grandfather had said could be the air vents. Grandpa was always utilize the junk into art. Likewise with tires that meet the home that is processed into many kinds of goods, ranging from buckets to flip-flops.


I remember my friends and my grandfather used to play together at home, just playing card or nostalgic, sometimes until midnight. Grandpa did not need a fan or air conditioner because of the open air will increase with increasing cold night wore on. My friends grandfather also smoke free. We usually are prohibited from approaching due to unhealthy and makes our clothes smell of tobacco.


Grandfather's house was equipped with several lights but not electricity, I do not know why my grandfather still
installing the lights petromak or strongking, I used to call it, maybe it's also the Dutch language. Grandfather said, because during the Dutch colonial rule would grandfather existing grandfather knew little "Landa" language (call for dutch). The electricity was home we also have television, but I do not remember whether to use disposable dry batteries or electricity. Grandpa also had a few things like the transistor radio history is very large so I could enter into it. But it still makes me curious about electricity and strongking before, why there should be both if you want to save?. It could be the time electricity is still expensive, so the grandfather only use it for powering television, watching the World in Commerce News and Press, and even then only one channel TVRI, other entertainment moreover only RRI, always news and puppet people.

Part of the house is like my grandfather, central courtyard that connects the home front and rear. Every day after sunset, grandfather always flatten the grains of sand, of a width almost as badminton court, a flat clean and no rubbish is left a course. Afterwards then continued with the ritual of smoking "cigarettes Sintren", dreamily looking at the sky, relaxing remarkable. I do not remember if my grandfather also liked the coffee?. But it is also remembered from home and the grandfather is great health, I saw my grandfather rarely sick, even glasses ware never know.


Grandfather's house is also a kind of halfway house, the merrier when it is visited by guests, whether it's just an old friend or business partner. So it serves a double house, home and office all at once, because my grandfather like business and did pass on the business of blood, to his children, because almost all of his grandfather's footsteps and continue to be an entrepreneur.

Celengan bambu;Bamboo Bank

Rumah kakek yang paling tengah bentuknya mirip perahu, tamu yang main kerumah selalu bilang begitu. Bagian depannya dibiarkan terbuka dengan teras kecil yang di topang tiang-tiang dari bambu. Bilah bambu kuning itu tak terlalu besar tapi halus. Di tiang-tiang bambu itu ada lubang-lubang kecilnya mirip celengan. Siapa sangka sebenarnya itu memang celengan. Idenya dari Paman Mono, pamanku yang berbadan tinggi besar dengan suara bariton, mirip kakek.

Sore itu sehabis ashar, keluarga berkumpul di ruang tamu, kebetulan hari hujan, jadi lengkaplah semua anggota keluarga. Rumah ketika itu juga sedang direnovasi, tiang-tiang bambu akan diganti dengan besi. Pamanku bercerita bahwa selama ini dia menyimpan rahasia di rumah itu. Kami semua penasaran, dan tak percaya, barulah setelah dia membongkar tiang bambu dan mengeluarkan semua isinya barulah kami percaya. Aku lihat kumpulan uang logam yang jumlahnya lumayan banyak. Entah kapan mulai menabungnya yang jelas lumayan juga jumlahnya. Seandainya aku tahu sejak awal pasti aku sudah berusaha untuk “memanfaatkannya”. Itulah mengapa bambu “harta karun” itu dijaga benar rahasianya hingga waktunya tiba untuk membongkarnya.


Tiang bambu itu hanya sekali menyimpan misteri selanjutnya tak pernah ada lagi karena tiangnya diganti kakek dengan tiang besi.

Bamboo Pole Piggy Bank
by hans@acehdigest

Grandfather's house looks like most middle of the boat, the main guest house has always said so. The front is left open with a small porch supported from bamboo poles. The yellow bamboo rod is not too big but subtle. In the bamboo poles are small holes like a piggy bank. Who would have thought it's actually a piggy bank. The idea of Uncle Mono, my uncle a big tall with a baritone voice, like a grandfather.

That evening after Asar, the family gathered in the living room, coincidentally the day of rain, so complete all family members. House when it is also being renovated, bamboo poles will be replaced with iron. My uncle told me that he had been keeping secrets in the house. We were all curious, and do not believe, then after he dismantle a bamboo pole and then remove all the contents we believe. I see a coin collection which numbers quite a lot. Either save it clear when it started pretty well in number. If I knew from the beginning I would have tried to "exploit". That is why bamboo "treasure trove" was kept secret until the right time comes to unpack.  


Bamboo pole was only once the next mystery was never there anymore because the poles grandfather was replaced with an iron pole.