Label

10 tahun tsunami. (1) 2013 (1) acehku (1) Adikku. (1) Aku (5) Among-among (1) Anak-anak (1) Anak-Anak Dikutuk (1) Angka ajaib (1) aqiqahku (1) Ayahku (1) babak baru (1) bakso (1) Barzanji (1) batu cincin (1) belimbing (1) Belut Loch Ness (1) Belut Sawah; Mancing Belut (1) Bibiku (2) bioskop misbar (1) birtdhday party (1) bisnis keluarga (1) busur dan panah (1) cafe (1) capung (1) Celengan bambu (1) China's Neighbords (1) Cibugel 1979 (1) Cibugel Sumedang (2) cinta bunda (1) coffee (1) cracker (1) Curek; Inflammation (1) Dapur nenek (1) dejavu (1) Dian Kurung (1) distant relatives (1) Dremolem Or Dream Of Land (1) es dogger (1) es goyang (1) es serut (1) Fried Sticky Rice (1) Gadis Kecil (1) gambar desain (1) gambarku (1) Gandrung Mangu (2) golek;nugget cassava (1) harmonika kecilku (1) Ibuku (11) Ibuku Atau Kakakku? (1) Ikan (2) ikan dan ular (1) iseng (1) jalan kolopaking (2) Jalan Kusuma (2) jangkrik Jaribang Jaliteng (1) Jenang Candil (1) jogging (1) Juadah (1) Juz Amma (1) kakek dan nenek (3) kakekku (3) kecelakaan fatal (2) kelahiranku (1) Kelas Terakhir; the last class (1) Kembang api (1) kenangan (1) Kerupuk Legendar (1) kilang padi (1) Klapertart Cake (1) kolam ikan masjid (1) koleksi stiker (1) koleksi unik (1) koplak dokar dan colt (1) kota kecil dan rumahku (1) Kue tape (1) Kutawinangun (1) Lanting (1) Lebaran (1) little cards (1) Loteng rumah (1) lotere (1) lottery (1) mainan anak-umbul (1) makan (1) makkah (1) Malam Jum'at (1) Mancing Belut (1) masa kecil (11) masa kecil. (1) masa lalu (3) masjid kolopaking (1) meatballs (1) Mengaji (1) menu berbuka (1) Mercon (1) Minum Dawet (1) morning walk (1) my (1) my birth (2) my first notes (6) my mom (4) my note (27) Nama ibuku (1) Nenek Sumedang (1) new round (1) new year (2) others notes (1) ours home (1) padi sawah wetan (2) pande besi (1) Papan Tulis (1) Pasar dan Ibuku (1) Penculik dan Bruk (1) Pencuri (1) Perayaan (1) Perjalanan 25 Tahun Bag. Pertama (1) personal (1) Puasa (3) radio transistor (1) ramadhan (1) Roti dan Meriam Kauman (1) Rumah Ban (1) Rumah Kakek dan Nenek (5) rumah karang sari (1) rumah kecil di pojok jalan (4) rumah kelinci (1) rumah kutawinangun (1) Rumah Pojok (1) rumahku (1) Sarapan Apa Sahur? (1) saudara jauh (1) sawah utara (1) sawah wetan (2) SD Kebumen (1) Sepeda dan Meteor (1) shake es (1) shalat jamaah (1) sintren (1) special note (1) Starfruit for Mom (1) Stasiun Kereta Api (2) Sumedang 1979 (1) Sungai Lukulo. (1) tahun awal (17) tahun baru (1) Taman Kanak-kanak (1) Tampomas I (1) tanteku (2) Tetangga Cina (1) The magic Number (1) tradisional (1) tsunami 2014 (1) Ulang tahun (1) Visionary grandpa (1) Wayang Titi (1)

Jumat, 08 Juni 2012

Aceh-Blitar-Bagian Pertama; The Trip Part One

Entah pada tahun berapa, aku melakukan kunjungan pertama kaliku, setelah hampir duapuluh lima tahun aku meninggalkan Kebumen. Kota kecil dipeta yang tak pernah kuingat dimana noktahnya untuk waktu yang sangat lama.

Kunjunganku kali inipun sebenarnya juga tak berencana, hanya saja aku mendapat titipan pesan dari ibu mertuaku untuk  mengantar surat penting, maka jadilah aku memulai sebuah perjalanan panjang. Dimulai dari pesawat, taksi, kereta api, hingga becak yang di dorong pengemudinya dari belakang bukan dari depan seperti di tempatku di Aceh.

Setelah mengikuti kunjungan kegiatan, lepas dari acara aku langsung menuju stasiun kereta api gambir, memesan tiket, setelah sebelumnya dipusingkan dengan kesana-kemari mencari stasiun, karena takut dibohongi para tukang becak aku memilih angkot, sialnya aku justru tertipu oleh perasaan takutku sendiri. Aku sengaja memilih kereta api bisnis, sialnya lagi,aku kehabisan tiket dan harus rela antri di kelas ekonomi. bayangan buruk kelas itu memang tergambar betul, bukan cuma soal ketidaknyamanan, tapi lebih soal keamanan. kalau semrawut, barangkali cuma sekedar bumbu dari begitu banyak dan panjangnya persoalan di kelas ekonomi.

Aku harus berganti tempat duduk bukan karena sembelit, sesekali di depan, di tengah dan sesekali mencoba bangku di belakang sambil melirik bagaimana kondisi kereta api dan suasananya dari belakang. Deretan bangku kosong yang ditinggali penumpang setiap kali kereta api lansir atau berhenti di stasiun dan menurunkan berjubel penumpang yang diawal berebutan, kali ini membuat hampir semua bangku bagian dalam kereta yang strategis kosong melompong. Disinilah awal kecemasan muncul, karena lalu lalang orang tak dikenal di sepanjang lorong, dengan muka yang ramah atau tak ramah sama saja tak nyamannya, karena semuanya bisa menjadi malapetaka jika nasib sial memang sedang berada di pihak kita.

Seringkali aku harus mengamati barang bawaanku yang dilihat atau disentuh orang tak dikenal yang tak sengaja atau sengaja untuk memastikan siapa pemilik barang sebelum akhirnya "dicuri" barangkali . Jika kondisi tak menyakinkan seperti koperku mereka akan berpikir isinya paling-paling pakaian kotor, padahal aku membawa banyak uang yang kubagi penyimpannya kedalam beberapa paket di sekujur barang bawaanku dengan harapan jika terjadi musibah sekalipun aku tak kehilangan seluruh barang bawaanku, minimal tidak seluruh uangku, persis seperti teori bisnis ekonom yang berusaha menyimpan telur tidak dalam satu keranjang jika tak ingin pecah sekaligus, begitulah.

Aku duduk dibelakang antara tidur dan tidak, seperti tidur ayam, khawatir dengan para pencuri yang kata orang berpengalaman dengan kereta api, lalu lalang dengan mudah layaknya kondektur kereta api. Sambil sesekali mencari barang seolah mereka adalah penumpang padahal sedang mencari tahu mangsanya. Jika pemilik menghardik, menegur, bahkan berteriak, tandanya mereka awas, jika tidak mereka dengan mudah akan menariknya dan membawanya sambil berdiri di sambungan gerbong seolah-olah mereka akan segera turun di pemberhentian berikutnya, padahal, mereka mengecek isi dan bersiap kabur ketika masuk di stasiun yang bahkan cuma sekedar berjalan pelan tidak langsir, berhenti sesaat, namun mereka dengan cekatan dapat melompat seperti stunt man dalam film-film laga sambil melirik ke arah gerbong, mungkin bermaksud bilang terima kasih atas hasil curiannya yang dengan mudah didapatkan. Mereka berbaju rapi dengan dasi, aku senang menyebutnya Blue collar thief, seperti judul novel anak-anak yang pernah kubayangkan akan kutulis ketika aku kecil dulu.

Aku tanya kepada penumpang sebelah seorang anak perempuan muda yang kelihatan tak begitu was-was, berapa lama perjalanan dari jakarta ke jogja dan kemudian ke Wlingi, sebuah kota kecil di Jawa timur?, mereka bilang 18 jam. Mati aku!, ini betul-betul perjalanan panjang seperti yang pernah kualami ketika kuliah dulu, dan aku pernah bersumpah tak akan melakukannya lagi, kecuali dengan pesawat udara yang tengah melaju ke luar negeri yang jauh, tapi bukan perjalanan ini.

Setelah berbasa basi aku langsung berkeringat panas, bukan cuma karena gerbong tak ber-AC, tapi karena aku tak bisa membayangkan lamanya perjalanan dan bagaimana penatnya perjalanan kali ini.

Menjelang beberapa jam perjalanan, kereta api benar-benar kosong setelah ditutup dengan sebuah konser jalanan  yang luar biasa. Menurutku, tak seharusnya mereka tampil disini tapi harus tampil di ruang orkestra, namun seperti kata mereka . "Para penumpang sekalian, kami berlima disini hanya berharap bisa menghibur anda semua yang telah berjalan jauh dan kelelahan, semoga musik kami bisa menghibur anda"!, dan setelah mereka memainkan satu lagu indah jalanan, mereka mengedarkan plastik kecil dari bungkus permen yang didalamnya kulihat kosong, kecuali beberapa recehan yang sesekali sengaja dibunyikan untuk memberi tanda kepada para donatur yang "kasihan" untuk menyumbangkan sedikit koin dan uang kertasnya jika ikhlas. "Para penumpang, kami akan senang sekali jika anda mau berbagai dengan kami, bantulah kami dengan mengisi kantong kami sesukanya, semoga perjalanan anda lancar tanpa rintangan dan sampai ke tujuan dengan selamat dan sampai jumpa", kata mereka dengan setengah bercanda manis dan bahasa yang telah mereka ulang beribu kali sepanjang masih berjalannya kereta di rel yang sama.

Dan begitu kereta merangkak jalan, mereka akan sedikit kikuk berlarian dengan menjinjing trombon, gitar besar dan ukulele serta drum tiga drumer, menuruni gerbong sambil sesekali mengumpat dengan bahasa yang halus, asu!, yang kemudian aku tahu artinya anjing! entah siapa yang dimaksud, apakah petugas peniup peluit di peron, atau masinis yang menarik pedal, atau justru jadwal jam yang tepat waktu tak peduli pada para musisi jalanan yang pontang panting, mungkin untuk kesekian kalinya dari ribuan "Tour Jalanannya", Aku sempat berdoa dalam hati semoga kerja keras mereka akan membawa mereka jadi orang sukses kelak.

Di gerbong, Aku sempat merogoh saku dan kukeluarkan uang paling mudah dari kantung depanku, mungkin 20.000-an aku tak ingat persis hanya saja aku lihat bola mata salah seorang dari musisi itu sedikit terbelalak dan berbinar dengan senyum mengembang sambil berterima kasih atas apa yang aku berikan, Sudahlah ;)'.

Aku puas, aku senang karena bisa berbagi, ternyata pemberian yang biasa dan tak seberapa, bernilai tinggi buat mereka. Karena menurutku itu tak seberapa dibanding kerja keras dan kehebatan mereka bermain musik, yang aku bayangkan latihan mereka setidaknya harus menghabiskan beberapa gelas kopi untuk membuat mereka berjaga. Namun tidak untuk ongkos naik kereta api karena gratis termasuk omelan kondekturnya. Hanya saja mereka harus piawai mengatur dawai dan memastikan waktunya tepat kapan menyanyi dan kapan melompat dengan selamat sebelum kereta melangsir cepat.

Kisah perjalanan keretaku itu memang panjang, setelah melewati beberapa stasiun yang setiap kali membuat aku berdebar dan kuatir karena takut terlewatkan dan keburu malam, aku juga janjian dengan seorang saudara dari pihak mertuaku yang telah di pesan akan menungguku dan menjemputku di stasiun.

Stasiun itu ternyata hanya sebuah peron kecil, mirip beranda berwarna putih yang dibeberapa bagian luntur di gerus hujan dan panas karena langsung menghadap ke arah matahari pagi, dengan tulisan besar bercat hitam, WLINGI. Seperti stasiun gandrung mangu dalam ingatanku hanya ini lebih kecil. Semua bangunan stasiun menurutku seperti gambar yang dijiplak dan di-copy paste begitu adanya, persisi bahkan baunya pun sama, termasuk juga suasana dalam dan luarnya, di bagian luar deretan tukang becak dengan wajah lusuh menunggu penumpang yang terlambat seperti aku apalagi dijam-jam menjelang malam, hujan gerimis lagi, dengan platik warna-warni sesuka-sukanya. Sesekali mereka bercanda seperti memaksa temannya untuk segera mendekati aku sebagai calon penumpang, bisa jadi mereka menerapkan shif siapa yang berada dibaris paling depan dia akan mendapat jatah penumpang duluan, biar adil kebagian rezeki semuanya.

Tapi aku barangkali salah seorang penumpang yang membawa sial, karena aku tak berniat sama sekali untuk naik becak tapi cuma bertanya alamat dan tak bersedia diantar karena penjemput akan menunggu langsung di stasiun untuk membuatku tak kesasar kemana-mana.

Aku seperti mengalami de jaavu, melihat gambar seperti yang pernah kukenal tapi entah dimana, tapi semuanya begitu jelas tergambar di benak seperti tak pernah jauh darinya dan menjadi bagian dari sesuatu yang tak asing dalam hidupku dimasa lalu dan dimasa kini.

Seorang laki-laki paruh baya maju, dengan wajah dan senyum ragu sambil bertanya apakah aku orang yang dimaksud dijemputnya?. Ketika aku menjawab dengan yakin, senyum mengembang diwajahnya, yang katanya iya setengah yakin karena sudah menebaknya. Mungkin tebakan awalnya salah, seorang yang tinggi, dan ganteng, yang terakhir itu sedikit salah karena aku tak sepenuhnya begitu. );'

Aku bilang kepadanya, di kereta api aku sempat kuatir luar biasa, karena hapeku low bat, dan jika dalam sekian waktu tak sampai ke tujuannya maka aku tak bisa dihubungi  karena "berada di luar jangkuan" dan jadi blunder dari seluruh rencana perjalananku yang tak seru namun mendebarkan yang tinggal dikunci dengan satu buah komunikasi sekedar halo mengiyakan dan bilang aku telah berada di stasiun yang dimaksud. Untunglah nasib masih berteman baik dan semua berlangsung lebih tepat dan cepat dari dugaanku.

Setelah berbasa basi bahwa aku hampir jadi korban "sulap tangan alias copet--mungkin artinya juga colong cepat kali ya". kami tertawa-tawa seperti akrab, aku tak menyadari bahwa hari mendung dan hujan lebat baru saja turun, dia memaksa aku memaka jas hujan tapi aku menolak, aku bilang aku butuh mandi secepatnya setelah ini jadi biarkan saja aku basah kuyup sekarang jadi ada alasan bagiku untuk mandi cepat setelah ini.

Dari stasiun kelihatan tak jauh, kotanya memang kecil , namun jalan halus dengan deretan besi penghalang di setiap pinggiran dan banyak yang bertikungan tajam di jalanan yang hampir memutar, beberapa sungai dengan bantaran tinggi terlewati, aku pikir daerah ini dialiri sungai yang besar dan lebar, sejuk memang tapi aku asing dan tak suka. Dan di hati kecil aku merasa aku masih beruntung tinggal di banda aceh, di tempatku sekarang, jauh dari pulau ini yang dipenuhi dengan banyak hal yang tak membuatku berkenan dihatiku, maksudku karena  aku tak pernah bisa lama disana sehingga aku tak bisa merasakan chemistry-nya apa yang bisa membuatku nyaman dan enak tinggal di tempat seperti itu begitu intinya, aku belum punya kesan apapun, untuk membujuk hatiku untuk "suka".

Beberapa toko kecil terlintas, kemudian masuk kesebuah pasar, katanya aku harus ketemu dulu dengan kakaknya yang merupakan pihak yang penting yang harus kutemui. Kami berhenti di sebuah pasar kecil, disana mereka menjual beberapa kebutuhan rumah tangga, mereka mencoba membuatku nyaman dengan mengatakan mereka tak bisa menyuguhkan apapun yang tepat karena mereka hanya menjual sembako, kami tertawa bersama. Menarik menurutku karena mereka orang bisnis yang gigih dan berhasil, sehingga menjadi calon penerima surat yang tak lain adalah calon pembeli tanah peninggalan keluarga istriku dari pihak ayahnya.

Kami berbasa basi, di rumah di Aceh sebelum berangkat, aku dipesan agar sedikit berwibawa ketika negosiasi dan ketemu calon pembeli maka aku berusaha "jaim", jaga imej seolah-olah aku perwakilan khusus yang harus mereka temui hari ini dan beberapa hari mendatang.

Lagi-lagi aku berbasa basi, kemudian aku berangkat lagi dengan mengendarai sebuah honda lama  menuju rumah orang tua, dan kakak tertua dari mertuaku. Kami memasuki sebuah lorong kecil berdinding bata berlumut dipinggirannya, deretan rumah dengan pepohonan bambu menghias hampir sebagian besar daerah itu. Aku menebaknya dari awal, daerah itu daerah aliran sungai dengan vegetasi tanaman bambu yang biasannya tumbuh di daerah seperti itu. Lorong kecil kemudian berubah buntu dan kami memasuki lorong lebih kecil seperti mulut botol namun didalamnya luas dengan beberapa rumah bersambungan yang masih satu family dengan tetangga di sisi kiri kanannya yang ramah.

Aku dipersilahkan masuk ke dalam sebuah rumah sederhana berdinding papan, di bagian tengah terdapat meja petak yang diperuntukkan bagi tamu, juga bagi ruang keluarga, ruang belajar dan sesekali sebagai ruang makan, persis begitu karena tak lama di jam malam kami menikmati makan malam di meja tersebut. Meja itu menjadi meja utama untuk menjamu tamu, Aku bilang aku tak penting harus makan dimana yang penting aku sudah sampai ke rumah mereka hari ini, dengan begitu panjang perjalanan yang tak pernah aku sangka sebelumnya, yang membuat suasana cair dan dipenuhi gelak tawa semuanya.

Akun diperkenalkan kepada semua anggota keluarga, dari yang terkecil hingga yang tertua yang katanya pernah berkunjung ke aceh bahkan untuk waktu yang lama. Mereka juga bercerita beberapa keluarga menjadi TKW sukses dimanca negara, mereka bercerita hongkong dan timur tengah seperti bercanda tapi begitulah adanya. Di hongkong mereka telah menetap lama dan hanya kiriman uangnya yang terus menerus sampai dengan kabar baiknya. Semua rumah di keluarga itu cukup memadai kecuali rumah induk yang tetap dipertahankan seperti apa adanya.

Ketika malam semakin gelap aku mencoba mandi meski dengan perasaan yang tak sepenuhnya puas, karena kau berada didaerah baru yang asing, jauh, dan perasaan gerah dan penat yang masih terasa berkepanjangan.

Tapi setelah ritual mandi singkat itu, dalam rintik hujan aku diajak untuk melihat tanah sekalian jalan-jalan, aku mengiyakan dan kami lagi-lagi menyusuri jalanan aspal basah, dan dipinggiran jembatan besar, motor itu berhenti. Dan untuk pertama kalinya aku menyaksikan seperti apa tanah yang akan dilego, sebuah tanah luas dipinggiran bantaran sungai tempatnya dipenuhi hijau padi yang memenuhi sebagian besarnya, menurutku besar dan murah harganya. Namun jika aku bayangkan bagaimana masa depannya dengan kemungkinan erosi dan banjir, maka hanya orang bervisi bisnis besar mau mengambil resiko dan bekerja dengan tenggat waktu yang ketat untuk mengembalikan seluruh keuntungan sebelum seluruh tanah itu dimakan erosi sungai apalagi banjir dan bandang yang bisa menghilangkannya dalam sekejap. Namun mereka tak punya pengalaman itu jadi masih bisa berbasi basi mengolahnya.

Cuma sebentar, selanjutnya aku kembali ke rumah, berjalan menyusuri sambil berusaha untuk merasa nyaman dengan keluarga besar mereka meski tak berhasil benar. Karena pada dasarnya aku orang pemalu yang tak terbiasa mudah bergaul dengan orang yang berjauhan dan asing konon lagi dengan keluarga besar yang baru pertama kali aku jumpai.

Barulah esoknya kami berbicara serius soal tanah itu, mengunjungi  kantor lurah, dan mengikuti sedikit administrasi yang membosankan. tapi sudahlah semua harus dilakukan karena aku menjadi wakil satu-satunya dalam transaksi itu.

Tak banyak yang bisa kuselesaikan kecuali dengan janji akan mengirim seluruh berkas dan bahwa aku sudah melihat keseluruhan tanah dan sudah bisa memastikan kepada mereka bagaimana sebenarnya kondisi tanah yang akan diperjualbelikan. Namun buat ibu mertuaku di Aceh beliau tak peduli dengan seberapa besar dan lebar tanah itu, karena baginya tak ada alasan untuk kembali kesana bahkan di satu waktu yang direncanakan sekalipun, makanya ibu lebih memilih menjualnya daripada merawatnya dari jauh tanpa ada kejelasan nasib tanah itu.

Esoknya dengan berbasa basi aku sampaikan aku tak bisa menunggu lebih lama lagi, karena aku terikat jadwal penerbangan yang harus aku ikuti setelahnya. Jadi dengan terpaksa, mereka keesokan harinya mengantarkanku kembali ke stasiun dan memperkenalkan aku kepada beberapa orang di stasiun yang di kenalnya tentang aku, mereka terkagum-kagum bukan karena soal lain, tapi  karena mereka tak bisa membayangkan bagaimana orang dari aceh yang jauh pada akhirnya bisa sampai ke daerah mereka di kota kecil yang jauh .

Aku memilih berangkat lebih cepat karena aku juga tak punya keperluan lain disana, aku menunggu kereta tak lama menjelang kereta pagi berangkat, karena aku berharap aku akan sampai di jakarta atau tujuan lain tidak ketika hari gelap. Aku kuatir tak terbiasa dengan semuanya yang tak terduga di sepanjang jalan yang panjang yang akan aku lewati dalam 18 jam mendatang, delapan belas jam yang teramat panjang dan melelahkan, dan sendirian!.

Akhirnya aku meninggalkan Wlingi bisa jadi untuk pertama dan terakhir, karena aku tak lagi terbiasa jalan begitu jauh jika tak ada keperluan apapun yang bisa memaksaku untuk datang kesana.

The Trip, Aceh-Blitar-Part One
by hans-acehdigest

Either in what year, I do first visit, after nearly twenty five years I left Kebumen. Map, is a small town that never remember where point for a very long time.

Even this time my visit was also no plans, only I got a message from the surrogate mother-in-law to deliver an important letter, then so be I started a long journey. Starting from the plane, taxi, train, rickshaw which is driven by the driver from the back instead of forward as in place in Aceh.

After following the visit of activities, apart from the show I went straight to the train station gambier, book tickets, having previously confused with the search for a station here and there, for fear of being deceived by a pedicab driver I choose public transportation, unfortunately I was actually fooled by the feeling of fear itself. I deliberately chose the railway business, unfortunately, I ran out of tickets and were forced to stand in economy class.

bad image is illustrated very well the class, not just a matter of inconvenience, but more about safety. if chaotic, probably just about the flavor of so many problems and its length in economy class.I had to change seats not because of constipation, sometimes in front, in the middle and occasionally tried to the bench in the back with a glance at how the condition of the train and it was from behind. Rows of empty seats every time occupied passenger train stopped at the station reports or huddled passengers and reduce the early scramble, this time to make almost any seat in the strategic rail empty. Here is the anxiety appeared, as a stranger passing in the hallway, to face a friendly or unfriendly as it is not comfortable, because it could be disastrous if it was bad luck on our side.

Often I have watched my luggage to be seen or touched a stranger who accidentally or deliberately to make sure who the owner of the goods before finally "stolen" perhaps. If the condition is not conclusive as they would have thought it my suitcase at the most dirty clothes, and I carry a lot of money into several packets i'm for saving all over my luggage in case of disaster in the hope though I lost all my luggage, at least not all my money, just such as the theory of business economists who tried to save the eggs are not in one basket if you do not want to burst at once, that is.

I sat behind the bed and not, like a chicken to sleep, worried about the thieves who said people experienced the railway, passing with ease like a train conductor. While occasionally looking as if the goods when they are passengers looking out their prey. If the owner of the rebuke, reprimand, even shouting, sign them beware, if not they will easily pull it and take it while standing on the connection carriage as if they would be down at the next stop, though, they check the contents and get blurred when it entered the station that even walking slowly is not just about the yard, pausing for a moment, but they can deftly leap like stunt man in action movies, glancing at the car, probably intended to say thank you for the loot that is easily obtained. They were neatly dressed in a tie, I like to call Blue collar thief, as the title of a novel children who never imagined going to write when I was little.

I asked the passenger next to a young girl who does not look so alarmed, how long the trip from Jakarta to Jogja and then to Wlingi, a small town in eastern Java?, They say 18 hours. I'm dead!, This really long trip like that ever happened to me while in college, and I swear I will never do it again, unless the aircraft was moving to the far abroad, but not this trip.

I immediately swapped pleasantries after sweating hot, not just because the car is not air-conditioned, but because I can not imagine the length of the trip and how tired this trip.

Toward a few hours away, the train was completely empty after being closed with a outstanding street concerts. I think they should not appear here but have to perform in chamber orchestra, but as they say. "The passengers and gentlemen, five of us here just hoping to entertain all of you who have walked away and exhausted, I hope our music can entertain you '!, And after they played a beautiful song the streets, they distribute small plastic candy wrapper in it I see a blank , except for a few coins that occasionally deliberately rung to signal to donors that "sorry" to donate a little coin and paper money if sincere. "The passengers, we would be delighted if you want a variety with us, help us to fill our bags at will, I hope your travels smoothly without any obstacles and reach your destination safely and see you," they said with a sweet half-joking and language that have been they re still a thousand times during the passage of trains on the same rail.

And as soon as the train crawled road, they will be carrying a little clunky running trombone, guitar and ukulele as well as the big three drummers drumming, while occasionally cursing the car down with a fine language, damn it!, Which then I knew what a dog! whoever it is, whether the officer's whistle blower on the platform, or a machinist who pull the pedal, or even schedule at the right time no matter on the street musicians who helter skelter, probably for the umpteenth time of thousands of "Tour The road", I was praying in the my heart that their hard work will bring them into the successful future.

In the car, I had reached into his pocket and took out the easiest money from my pocket, maybe 20 000's rupiahs I can not remember exactly it's just that I see one eye of the musicians were slightly widened and sparkled with a smile while grateful for what I give , ;) Anyway '.

I'm happy, I'm glad I could share, giving it an unusual and not how, high value for them. Because I think it's meager compared to the greatness of their hard work and playing music, which I imagine they exercise at least have to spend a few cups of coffee to make them watch. But not for the train fare including the scolding conductor because it is free. It's just that they need to expertly manage strings and make sure the time is right when singing and when to jump before the train safely rapid shunt.

The story of my train journey was long indeed, after passing through several stations each time makes me palpitations and anxiety due to fear of missing and trigger tonight, I also make a pact with a brother-in-law of parties who have been in the message will be waiting for me and pick me up at the station.

The station was only a small platform, similar to the white porch of few places in the shear zones fade as rain and heat face directly toward the sun in the morning, with a big sign painted black, Wlingi. As Gandrung Mangu station in my memory is just smaller. I think all the station buildings such as the image was traced and copied and paste it there, even the smell was the same precision, as well as the atmosphere inside and outside, in the outer rows of battered face of a pedicab driver with passengers waiting like me let alone at late-evening hours, rainy, with the colorful plastic-joy as they pleased. Occasionally they joked like forcing his friend to get close to me as a prospective passenger, they might apply shif who is on line at the front he will get a quota of passengers first, let it all just gets sustenance.

But I'm probably one of the unlucky passenger, because I do not intend at all to ride tricycles, but just ask the address and was not willing to transfer for immediate pickup at the station will wait for me to not get lost anywhere.

I like having de jaavu, look like the picture I've ever known, but somewhere along the line, but everything is so clearly illustrated in the mind like never far away and be a part of something familiar in the days of my life past and present.

A middle-aged men forward, with face and smile as he asked me if I doubt the person who referred in pick?. When I replied with confidence, smile expands on his face, which I said yes because it was guessed half convinced. Initially one might guess, a tall, and handsome, the latter is slightly wrong because I was not entirely so. ); '

I told him, on the train I had tremendous fear, because my handphone low bat, and if the time so do not get to the destination so I could not be reached because of "outside reach" and be a blunder of the whole plan of my journey is not exciting, but thrilling to live locked with a single communication just say yes and say hello I have been at the station in question. Fortunately, fate still good friends and all lasted more precise and faster than I expected.

Having swapped pleasantries that I was nearly a victim "alias pickpocket- sleight of hand - it might also mean faster times steal yes". we laughed like the familiar, I did not realize that the day was overcast and heavy rain had just come down, he forced me can waste a raincoat but I refused, I said I need a shower immediately after this so just let me wet now so no reason for me to quick shower after this.

Seemed so far away from the station, the city was small, but smooth roads lined with iron barriers in every suburb and many are keen on the street a bend nearly rotate, some crossed the river with high banks, I think this area the river flows through a large and wide, cool but I was foreign and did not like. And the little heart I felt I was lucky to live in Banda Aceh, in my place now, away from the island is filled with many things that pleased me was my heart, I mean because I could never get there so long I can not feel what its chemistry that makes me comfortable and pleasant stay in a place like that so basically, I do not have any impression, to persuade me to "love".

Some small stores came, then went in a market, he said I should meet first with his brother who is a party that is important to be met. We stopped at a small market, where they sell some of their household needs, they tried to comfort me by saying they can not serve anything right because they only sell food, we laughed together. Interesting I think because they are business people who persevere and succeed, so that a prospective recipient of a letter that no other potential buyers of land remains my wife's paternal family.

We swapped pleasantries, at home in Aceh before leaving, I ordered so little authority when negotiations and meet potential buyers so I tried "jaim", keep the image as if I had a special representative should they meet today and the coming days.

Again, I swapped pleasantries, then I set off again with driving an old Honda to the house parents, and elder brother of the law. We entered a small alley at the edges mossy brick, row houses with bamboo trees decorate most of the area. I guess from the beginning, the watershed area with a bamboo plant vegetation, that are generally grown in areas like that. Dead-end alley and then turn us into the alley like a smaller area inside the mouth of the bottle but with a few houses that are continuous with one family with a neighbor on the left side of his right friendly.

I was welcome to enter into a modest clapboard house, in the middle of the table there is a plot reserved for guests, also for the family room, study room and occasionally as a dining room, just so long as no curfew we enjoy dinner on the table . The table was a top table for entertaining guests, I said I have to eat is not important where I was important to their homes today, with such a long journey that I never thought before, which makes the liquid and the atmosphere filled with laughter all.

Accounts were introduced to all members of the family, from the smallest to the oldest who he said had been to Aceh even for a long time. They also told some families become successful overseas maids, they talk hongkong and middle east as a joke but she did. In hongkong they have settled a long time and only the remittances, which continued up to the good news. All in the family home unless sufficient homestead will be retained as it is.

As the night grew darker I tried to bathe, though with a feeling that is not fully satisfied, because you are a new area of ​​foreign, distant, and feeling hot and prolonged fatigue that is still felt.

But after a brief ritual bath, in the rain I was invited to see the ground all the streets, I said yes and we walked the streets again, the wet pavement, and the sidelines of the bridge, the motor is stopped. And for firts time I've seen what kind of land will be sold, an area of ​​land along the river where he met the sidelines of green rice that meets the most part, think big and cheap. But if I imagine how his future with the possibility of erosion and flooding, the only major business visionary people willing to take risks and work with tight deadlines to return all profits before it is eaten throughout the soil erosion and flash floods especially rivers that could eliminate the jiffy. But they had no experience of it so it can still process it berbasi stale.

Just a minute, then I returned home, walking along, trying to feel comfortable with their large families and not succeeding right. Because I am basically shy person who is not accustomed to easy to get along with people who are supposedly more distant and unfamiliar with the family for the first time I have encountered.

It was not until the next day we talked seriously about the land, visiting the village chief's office, and following the administration of the boring bit. but never mind all to do since I became the sole representative in the transaction.

Not much I can finish but with a promise to send the whole file and that I've seen the whole land and already told them how it really ensure soil conditions that will be traded. But for my mother-in-law in Aceh, he does not care how big and wide land, because there is no reason for her to go back there even at one time planned though, so mothers would prefer to sell rather than take care of her from a distance without any clarity of the fate of the land.

The next day swapped pleasantries with me to say I can not wait any longer, because I'm bound flight schedule should I follow after. So by necessity, the next day they drove me back to the station and introduced me to several people at the station in about me, they were amazed not because of another matter, but because they can not imagine how the people of Aceh are much in the end can be up to to their area in a small town far away.

I chose to go faster because I did not have any other needs there, I'm waiting for a train shortly before the train left early, because I'm hoping I'll get in Jakarta or other purposes is not as dark. I'm afraid not familiar with all the unexpected along the way that I long to be passed within the next 18 hours, eighteen hours a very long and tiring, and alone!.

Eventually I left the Wlingi could be for the first and last, because I no longer accustomed to the road so much if there is no need for anything that can make me come there