Label

10 tahun tsunami. (1) 2013 (1) acehku (1) Adikku. (1) Aku (5) Among-among (1) Anak-anak (1) Anak-Anak Dikutuk (1) Angka ajaib (1) aqiqahku (1) Ayahku (1) babak baru (1) bakso (1) Barzanji (1) batu cincin (1) belimbing (1) Belut Loch Ness (1) Belut Sawah; Mancing Belut (1) Bibiku (2) bioskop misbar (1) birtdhday party (1) bisnis keluarga (1) busur dan panah (1) cafe (1) capung (1) Celengan bambu (1) China's Neighbords (1) Cibugel 1979 (1) Cibugel Sumedang (2) cinta bunda (1) coffee (1) cracker (1) Curek; Inflammation (1) Dapur nenek (1) dejavu (1) Dian Kurung (1) distant relatives (1) Dremolem Or Dream Of Land (1) es dogger (1) es goyang (1) es serut (1) Fried Sticky Rice (1) Gadis Kecil (1) gambar desain (1) gambarku (1) Gandrung Mangu (2) golek;nugget cassava (1) harmonika kecilku (1) Ibuku (11) Ibuku Atau Kakakku? (1) Ikan (2) ikan dan ular (1) iseng (1) jalan kolopaking (2) Jalan Kusuma (2) jangkrik Jaribang Jaliteng (1) Jenang Candil (1) jogging (1) Juadah (1) Juz Amma (1) kakek dan nenek (3) kakekku (3) kecelakaan fatal (2) kelahiranku (1) Kelas Terakhir; the last class (1) Kembang api (1) kenangan (1) Kerupuk Legendar (1) kilang padi (1) Klapertart Cake (1) kolam ikan masjid (1) koleksi stiker (1) koleksi unik (1) koplak dokar dan colt (1) kota kecil dan rumahku (1) Kue tape (1) Kutawinangun (1) Lanting (1) Lebaran (1) little cards (1) Loteng rumah (1) lotere (1) lottery (1) mainan anak-umbul (1) makan (1) makkah (1) Malam Jum'at (1) Mancing Belut (1) masa kecil (11) masa kecil. (1) masa lalu (3) masjid kolopaking (1) meatballs (1) Mengaji (1) menu berbuka (1) Mercon (1) Minum Dawet (1) morning walk (1) my (1) my birth (2) my first notes (6) my mom (4) my note (27) Nama ibuku (1) Nenek Sumedang (1) new round (1) new year (2) others notes (1) ours home (1) padi sawah wetan (2) pande besi (1) Papan Tulis (1) Pasar dan Ibuku (1) Penculik dan Bruk (1) Pencuri (1) Perayaan (1) Perjalanan 25 Tahun Bag. Pertama (1) personal (1) Puasa (3) radio transistor (1) ramadhan (1) Roti dan Meriam Kauman (1) Rumah Ban (1) Rumah Kakek dan Nenek (5) rumah karang sari (1) rumah kecil di pojok jalan (4) rumah kelinci (1) rumah kutawinangun (1) Rumah Pojok (1) rumahku (1) Sarapan Apa Sahur? (1) saudara jauh (1) sawah utara (1) sawah wetan (2) SD Kebumen (1) Sepeda dan Meteor (1) shake es (1) shalat jamaah (1) sintren (1) special note (1) Starfruit for Mom (1) Stasiun Kereta Api (2) Sumedang 1979 (1) Sungai Lukulo. (1) tahun awal (17) tahun baru (1) Taman Kanak-kanak (1) Tampomas I (1) tanteku (2) Tetangga Cina (1) The magic Number (1) tradisional (1) tsunami 2014 (1) Ulang tahun (1) Visionary grandpa (1) Wayang Titi (1)

Selasa, 25 September 2012

Rumah Besar Kusuma 31; Big House

Jalan besar itu tepat di depan rumah, memanjang hingga ke Karang Sari di utara dan di titik timurnya berupa bundaran dengan sebuah patung besar gua dengan beberapa burung walet beterbangan di sisi-sisinya. Di bawahnya terdapat taman dengan lampu hias warna-warna yang memancarkan cahaya memenuhi monumen itu. Indah! meskipun sederhana. Di kanan kiri jalan dipenuhi deretan pertokoan.

sedangkan di deretan nomor 31 adalah rumah kakekku, besar tapi bersahaja, karena dipenuhi dengan barang dagangan yang teronggok begitu saja di halaman depannya. Tak ada taman sama sekali, bahkan di kemudian hari nenekku malah menambahnya dengan sebuah warung nasi ala warung tegal.

Sebagian besar bangunan itu terdiri dari bilah papan yang dipaku menjadi gudang, dengan pintu bukaan juga menggunakan bahan karet dan engsel besar. Sedangkan bagian lainnya berisi bilah papan yang bisa dibongkar pasang., dengan sebagiannya lagi dibiarkan ditempatnya tertutup, untuk menghalangi orang dari arah luar ke deretan lemari pajang yang dipenuhi perabot dan alat dari karet bekas.

Dan disisi paling kiri dibuat persis warung dengan bagian tengah memiliki bukaan papan yang dibuka sebagian lalu dijarangkan sehingga menjadi mirip terali papan, sedangkan di kanan kirinya terdapat pintu yang terbuka.

Bagian dalamnya terdiri dari deretan bangku panjang, dengan meja makan yang menjadi satu dengan meja pajangan keripik, telur asin, makanan sejenis kerupuk. dan sebuah kaleng persegi dengan tutup berbahan baku kaleng berisi kerupuk udang terkadang legendar, sejenis kerupuk dari bahan tepung dengan campuran ragi yang membuatnya agak terasa pahit di lidah.

Hampir seluruh ruangan dipenuhi meja dan kursi hampir melingkar memenuhi seluruh sudut, kecuali disudut selatan yang berisi kursi bambu sejenis "amben" dengan pegangan tangan di setiap pinggirnya. Setiap pengunjung yang masuk harus melangkah ke dalam bagian dalam kursi untuk dapat memilih tempat di tengah, kemudian akan memilih panganan ringan, juadah dan lainnya sebelum diantar teh manis dan nasi dengan sayur tumis kacang atau labu jepang.

Bagian paling belakang dari warung terdapat lemari, untuk pembatas ruang dan di depannya di letakkan bakul nasi dibuat dari anyaman bambu, yang selalu ditutup dengan kain kotak untuk menjaga tetap hangat dan terutama dari debu yang bisa terbang dari jalanan besar di depan rumah. sedangkan sayuran tumis diletakkan nenek di bagian belakang dari meja pengunjung.

Meja kasir juga terdapat di bagaian belakang meja dekat tempat saji sayur tumis, berupa laci kayu.

Bagian belakang warung langsung tembus ke ruang samping rumah, berbatas dengan ruang kerja karyawan barang olah bekas karet. Di ruangan itu terdapat meja dan kursi terbuat dari karet, tempat tukang beristirahat sambil makan siang. terkadang menjadi tempat kami bermain, atau kakek bermain gaple dengan teman sebayanya di hari minggu .

Bagian belakang itu memiliki batas genteng yang tidak penuh hingga ke rumah belakang, sehingga di hari hujan ketika kita hendak masuk ke bagian tengah rumah harus berbasah-basah terguyur hujan, kakek tak pernah berinisiatif untuk membuat sekedar penutup rumah. Disiang hari terik matahari langsung masuk kedalam beranda rumah dan dimalam hari dingin malam terasa langsung menembus kulit. Namun begitulah uniknya rumah kakeh. Sebagian beratap beton, sebagian lainnya beratap langit. Mirip rumah jepang yang asri.

The Big House Kusuma 31
by hans-acehdigest

"The main road is right in front of the house, stretching all the way to Karang Sari in the north and ending in a roundabout with a large cave statue and several swifts flying around it in the east. Beneath it is a garden with colorful decorative lights illuminating the monument. Beautiful! although simple. The road is lined with shops on both sides.

Number 31 is my grandfather's house, big but unpretentious, as it is filled with merchandise piled up haphazardly in the front yard. There is no garden at all, and later on my grandmother even added a small warung (Indonesian-style food stall) like those in Tegal.

Most of the building consists of wooden planks nailed together to form a warehouse, with doors made of rubber and large hinges. The other part consists of wooden planks that can be disassembled, with some left in place and closed to block people from the outside from seeing the display cases filled with old rubber furniture and tools.

And on the far left, it is made exactly like a warung with a central section that has a wooden plank opening that is partially opened and spaced out to resemble a wooden lattice, while on the left and right sides there are open doors.

The inside consists of long benches, with a dining table that is combined with a display table for chips, salted eggs, cracker-like foods, and a square tin with a tin lid containing legendary shrimp crackers, a type of cracker made from flour with yeast that gives it a slightly bitter taste.

Almost the entire room is filled with tables and chairs that are almost circularly arranged in every corner, except in the southern corner where there is a bamboo chair like an "amben" with handrails on each side. Every visitor who enters must step into the inner part of the chair to choose a seat in the middle, then they will choose snacks, side dishes, and others before being served sweet tea and rice with stir-fried vegetables or winter melon.

At the back of the warung, there is a cupboard, to separate the room, and in front of it there is a rice basket made of woven bamboo, which is always covered with a checkered cloth to keep it warm and especially from dust that can fly from the main road in front of the house. While the stir-fried vegetables are placed by my grandmother at the back of the visitor's table.

The cash register is also located at the back of the table near the vegetable serving area, in the form of a wooden drawer.

The back of the warung leads directly to the side room of the house, bordering the workspace of the used rubber goods employees. In that room, there is a table and chairs made of rubber, where the workers take a break to eat lunch. Sometimes it becomes our playground, or my grandfather plays gaple (a card game) with his peers on Sundays.

The back part has a roof that does not extend all the way to the back house, so on rainy days when we want to enter the middle part of the house we have to get wet in the rain, my grandfather never took the initiative to make even a simple cover for the house. In the hot sun, the sunlight directly enters the porch of the house and at night the cold night feels like it penetrates the skin. But that's the unique thing about my grandfather's house. Part of it has a concrete roof, the other part has a sky roof. It's like a Japanese house, which is so serene."

Rabu, 05 September 2012

Ibuku dan Kerja; My Mom and Works

Ibuku paling tak bisa diam, dinamis, terus bergerak, mengikuti hati dan pikiran. aku melihatnya tak pernah lelah, selalu saja ada yang menarik perhatian dan minatnya. aku sempat berpikir, barangkali dalam diamnya bisa memancing ibu memikirkan terlalu banyak hal yang membebani sehingga ibu berusaha melupakannya dengan melakukan banyak hal.

Pagi diantara riuh dan kesibukan dapur, rumah, membangunkan anak-anak sekolah dan menyiapkan sarapan pagi dengan sesekali mengomel karena kami semua lalai, dengan ritual mandi pagi, dan terutama sarapan karean dilalaikan dengan membuang-buang waktu. dan seringkali membuat kami terburu-buru ke sekolah, tapi tetap dibekali dengan senyum mengembang.

Mungkin waktu-waktu diantara kami sekolah dan sebelum pulang adalah waktu yang melegakan, tidak diganggu dengan riuh dan kenakalan anak-anak. Tapi rumah biasanya juga menjadi senyap, kecuali para pekerja di workshop kakek yang tengah bekerja sambil bercanda-canda sesama pekerja yang sebaya.

Tapi tetap saja ibuku dipenuhi kesibukan membereskan rumah, menyiapkan bakal makan siang sebelum kami pulang. sesekali jika luang dihari libur minggu, ibuku engajakku jalan-jalan ke rumah kerabat atau teman di Karang Sari. membebaskan diri dari rutinitas, karena sebagai ibu rumah tangga sejati ibuku memang tak pernah bekerja formal di luar rumah. Meskipun itu kemudian menjadi sisi lemahnya, karena kami kekurangan secara finansial untuk kebutuhan-kebutuhan kami selain makanan.

Tapi ibuku mewariskan kerja keras, semangat, gigih dalam banyak hal yang sedikit banyak aku warisi hingga hari ini. Sungguh sebuah kebanggaan dan kebahagiaan jika kita bisa memenuhi harapan, atau setidaknya ada bagian dari ibuku yang bisa aku ikuti dan membawa kami menjadi lebih baik di sebuah masa nanti.


My Mom and Works
by hans-acehdigest

My mom can not keep quiet most dynamic, constantly moving, to follow their hearts and minds. I saw it was never tired, there's always that attracts attention and interest. I was thinking, maybe the mother's silence may provoke thinking about too many things that weighed so she tried to forget it by doing a lot of things.

Morning amongst the hectic and busy kitchen, home, wake up the kids school and preparing breakfast with occasional grumbling because we were all negligent, the ritual bath in the morning, and especially breakfast because neglected by wasting time. and always made ​​us rush to school, but still armed with a smile.

Maybe time to time between our school and before going home was a relief, is not bothered by boisterous and juvenile delinquents. But the house is usually also a silent, except the workers who were working grandfather workshop playfully joked co-workers the same age.

But still busy cleaning the house she met, will prepare lunch before we went home. occasionally if spare the Day holiday week, my mother took me a walk to the homes of relatives or friends in Karang Sari. break free from the routine, because as a true housewife mother had never worked outside the home formal. Although it later became weak side, because we lack financially for our needs other than food.

But my mother bequeathed hard work, enthusiasm, indomitable in many ways is a bit much I have inherited today. It's a pride and joy if we could meet expectations, or at least a part of her that I can follow and take us to be better at a later time.

Tentang Sebuah "Kehilangan"; About A "Lost"

Aku seringkali merasa terlalu berkeras hati. ayahku mengganggapnya justru "cuek", bisa jadi mungkin apatis. aku sadari memang begitu, karena jika aku mendengar ada saudara atau siapapun terkena musibah, aku dengan cepat menerjemahkannya dengan memang sudah begitu adanya.

Orang-orang bertanya apa aku tidak merasa sedih dengan kepergian nenekku?, aku bilang aku bisa merasakannya dengan normal, hanya saja aku tak mau berpanjang-panjang dengan kesedihan. jadi aku berusaha mengobatinya dengan membuat semuanya tidak terlalu berlebihan dan lumrah.

Aku juga tak pernah merasa tak seharusnya orang berlama-lama sedih, karena itu hak orang dan orang juga berbeda-beda dalam merasakan sebuah kesedihan, jadi apa pasal aku harus merasa kesal dengan kesedihan orang, berlebihan sekalipun karena barangkali begitulah ekpresi dan caranya menghilangkan kesedihan dan beban hati.

Namun aku tak pernah bisa membayangkan jika aku kehilangan ibuku, karena dalam hati kecilku, ketakutanku yang paling dalam adalah kehilangan ibuku, karena banyak cerita dan masa lalu yang kami bagi dua dalam banyak catatan tertulis maupun tidak. Apalagi dengan kondisiku hari ini yang lama tidak bertemu, aku memimpikan pertemuan itu meskipun entah kapan saatnya.

Aku merasa masih punya hutang budi yang harus aku balas, meskipun ibuku seperti juga matahari tak pernah meminta balasan apapun untuk semua kasih sayang dan kehangatan yang sudah dicurahkan. justru karena itulah cinta, kasih sayang kita sudah seharusnya untuk ibu.

Untuk satu hal ini, sekalipun berandai-andai kehilangan aku tak sanggup memikirkannya dan untuk yang satu ini juga aku tak pernah menahan jika aku meneteskan air mata. karena itu satu-satunya cara untuk bisa meringankan bebanku.

Kecuali jika saatnya memang "harus" tiba, tak sesiapun bisa berkehendak, dan aku hanya bisa mengirim doa, berharap Allah mendengarkan dan mengabulkan doa-ku, agar memberi tempat paling mulia disisi-Nya.

Begitulah kehidupan memiliki caranya sendiri untuk mengingatkan kita, mengajarkan kita tentang bagaimana seharusnya memilih sebuah sikap menjadi bagian dari kepribadian kita dan memberi warna yang berbeda-beda bagi setiap pribadi yang berlainan

About A "Lost"
by hans-acehdigest

I often feel too dead-set. My father actually consider it "cool", it could be possible apathy. I realize it is, because if I hear any relatives or anyone else affected, I quickly translated it already so there.

People ask me what I do not feel sad at leaving my grandmother?, I said I can feel normal, it's just that I do not want a long-winded with grief. so I tried to treat it with to make it all not too excessive and habitual.

I also never felt people should not linger sad, because it is the right of people and people also vary in feel a sadness, so what chapter I should feel annoyed with sadness, because maybe that's overkill though expressions and how to eliminate the grief and the burden of liver.

But I never could have imagined when I lost my mom, because in my little heart, the deepest fear is losing my mother, because a lot of stories and past us for two in many written records or not. Especially with my condition today that long time no see, I dreamed of meeting although who knows when it's time.

I feel they have a debt of gratitude that I have to reply, although my mother as well as the sun never asked any replies for all the love and warmth that has been poured. precisely because of that love, our love for granted to the mother.

For one thing, despite losing suppose I could not think about it, and for this one as well I never hold back when I was moved to tears. because it was the only way to get relieve my burden.

Unless time is a "must" arrive, not sesiapun be willing, and I can only send a prayer, hoping that God hears and answers prayer me, in order to give the most precious of his hand.

That life has its own way to remind us, to teach us about how to choose an attitude to be part of our personality and give a different color for each person in different