Ibuku bilang mengunjungi kerabat bagian dari silaturrahmi!. Aku tak tahu apa-apa jadi aku mengiyakan saja. Di tahun berapa aku tak begitu yakin bisa mengingat, ketika itu aku masih tinggal di Gandrungmangu, aku memulai sebuah perjalanan panjang menuju rumah saudara jauh, mungkin di Lampung? entahlah.
Dengan menaiki dokar yang harus dipanggil dari stasiun, biasanya ada orang suruhan nenek, orangnya hitam agak pendek tapi cekatan luar biasa. Begitu nenek memberikan perintah secapat kilat dia berlari ke sepeda kumbangnya dan setengah mengebut melarikan sepeda ke stasiun. Dan tak lama kemudian kembali lagi dengan diikuti dokar dan langsung berhenti persis di halaman rumah, di depan pematang yang dibuat dari potongan batang kelapa. Depan rumah itu terdiri dari pagar dari pepohonan hijau, dengan parit panjang tapi jarang terisi air kecuali di musim hujan atau ketika irigasi sawah dibuka dan airnya mengalir kepenjuru kampung.
Begitu dokar sampai aku langsung melompat ke kedalam, aku memang terkenal gesit, mungkin sedikit nakal untuk anak seukuran usiaku. Aku tak pernah takut dengan apapun kecuali hantu, bahkan pepohonan tinggi tak menyurutkan niatku untuk memanjatnya dan bergelantungan seperti simpanse. Terutama di pohon karsen atau cheery di depan rumah. Nenek cuma bisa menggelengkan kepala melihat tingkahku.
Sejak kecil aku terbiasa naik dokar atau sepeda, jadi aku tak begitu menyukai kendaraan bermesin, seringkali aku pusing dibuatnya dan kemudian mabuk darat. Dan kunjungan kerumah saudara jauh kali ini mengharuskan aku naik kendaraan bermesin, aku sebenarnya menolak ikut tapi dengan siapa tinggal dirumah karena nenek juga ikut malah jadi ketua rombongan.
Dimulai dari depan stasiun, kami mencari minibus, dengan beberapa kursi beratap rendah, panas dan hiasan kain rumbai-rumbai di sekeliling jendela malah membuatku tambah lemas dan pusing, karena menurutku bukannya menambah indah, malah membuat pengab dan mobil jadi aneh, terutama dengan bau dan warna kursi yang tidak lagi karuan, biru, hitam atau abu-abu. Mungkin sudah ribuan orang memakainya dan pemiliknya tak sempat membersihkan dan mengganti jok dengan kain lain. Peduli apa mereka toh mereka juga tak pernah duduk di kursi itu kecuali penumpang. Belum apa-apa aku sudah mulai uring-uringan, selain diam membisu aku tak punya pilihan lain. Karena begitu buka mulut bisa-bisa langsung mual dan muntah.
Aku duduk dengan nenek di dekat jendela, nenek sudah mempersiapkan plastik beberapa buah untuk menjaga kemungkinan aku muntah. Dan anehnya setiap kali melakukan perjalanan jauh, seperti ritual, nenek tak pernah ketinggalan membawa nasi timbel, kering tempe dan tak lupa telur ayam rebus. Aku paling benci dengan yang terakhir itu, terutama ketika di buka kulitnya akan mengeluarkan aroma yang menurutku tidak berbau makanan tapi justru, maaf berbau kentut. Dan di dalam mobil yang panas, pengab dan bercampur dengan bau solar atau bensin ditambah telur rebus membuatku seperti di neraka.
Nenek tak pernah peduli dengan hal itu, malah selalu menawarkan telur rebus setiap masuk jam makan atau aku terbangun dari tidur lelap dalam perjalanan. Aku bahkan kadang-kadang marah, karena kesal dengan baunya. Aku bilang tak boleh ada yang makan telur di mobil!, terserah di luar. Tapi aku tak menolak jika disuguhi nasi timbel dengan kering tempe, karena bau daunnya membuat nasi tidak cuma pulen tapi juga lezat. Apalagi padi diambil dari sawah sendiri, tanpa pestisida, mungkin sekarang dikenal dengan padi organik. Masa tanamnya lebih lama tapi hasilnya luar biasa sehat.
Perjalanan panjang itu memakan waktu berjam-jam, jangan tanyakan kemana arahnya karena aku tak tahu sama sekali, cuma ketika mendekati tujuan, aku lihat hamparan jalannya terdiri dari butiran pasir lembut tanpa rumput sedikitpun bahkan cenderung gersang. Di sebuah rumah sederhana yang didepannya ada mesjid kami berhenti, kata nenek itulah rumah saudara kami.
Rumahnya itu di Lampung kalau tak salah, beberapa anak-anak kecil lain berlarian tak peduli pusing, sementara aku masih tak kuat untuk berjalan karena rasa kantuk akibat pusing berat masih terasa di kepala. Aku disodori teh panas, katanya untuk menyegarkan kepala, tapi tidak bisa membuang angin di perut yang masih terasa mual tak karuan. Anak-anak berlarian, mereka bilang di belakang rumah ada hamparan laut!. Aku penasaran tapi tetap tak bisa banyak bergerak, aku pikir aku ingin melihat laut, karena dalam hidupku aku jarang melihat laut. Karena sebenarnya aku anak yang tinggal di pinggiran kota, tak jauh dari jalan kota utama, mungkin sekitar 1 kilo meter. Makanya aku tak pernah melihat laut, paling-paling juga sungai atau sawah yang luas membentang di belakang pertokoan di belakang rumah.
Kami malam itu tak ingat apakah menginap atau tidak, tapi kami memang beristirahat cukup lama di rumah itu. Aku tak ingat juga apakah kemudian sempat melihat laut atau tidak, karena sebenarnya daya tarik kunjungan itu adalah lautnya. Karena keseharian kami adalah melihat ladang, sawah dan hutan kecil di perkampungan yang ketika itu memang layaknya hutan kecil. Jalanan yang rapi dan lebar dengan pagar bambu dan pagar tanaman hidup menghiasi seluruh kampung dengan jalanan tanah. Listrik bahkan tak masuk ke kampung itu untuk waktu yang sangat lama. Ini aneh juga buatku kemudian karena aku sadari sebenarnya kampung itu tak jauh dari stasiun kereta api yang punya penerangan lumayan dari listrik tapi tak pernah bisa mengirimkan arusnya hingga ke kampung yang cuma berjarak 1 blok.
Kisah perjalanan panjang itu adalah kisahku pertama, jika boleh memilih aku lebih senang memilih kereta api, karena kita masih bisa memilih, bisa duduk di gerbong dengan membuka jendela, duduk di sambungan kereta api yang langsung bisa menghirup segarnya udara luar sambil melihat pepohonan dan tiang listrik yang seperti berlarian dan berkejaran tak pernah lelah dan berhenti. Padahal kereta apilah yang berlari kencang dan meninggalkan setiap tiang di tempatnya.
Tapi sayangnya rumah saudara jauh kami itu tak tersambung dengan jalur kereta api sehingga mau tak mau harus memilih jalur darat dengan minibus yang sangat menjengkelkan. Hingga sekarangpun aku tak suka perjalanan dengan mobil, kecuali aku yang membawanya sendiri, dengan mobil sendiri juga.
Aku menyimpan kenangan perjalanan itu sebagai kisah masa kecilku ketika masih tinggal dengan nenek jauh dari dua orang adikku yang tinggal di kota lain dengan nenek dari pihak ibu. Itu juga yang membuat kami, maksudku aku dan nenek menjadi begitu dekat, bahkan hingga besar dan terakhir kali bersama beliau di tahun 1980-an.
To Visit Distant Relatives
by hans-acehdigest
My mother told me to visit the relatives of silaturrahmi!. I do not know anything so I said yes. In what year I'm not so sure I can remember, when I was living in Gandrungmangu, I started a long journey to distant relative's house, probably in Lampung? I do not know.
With a gig that had to be called up from the station, there is usually a messenger grandmother, a black person rather short but remarkable nimble. So grandma gave express orders secapat he ran into a bike race beetle and a half to run the bike to the station. And soon returned with the gig followed and stopped right in the yard, in front of the embankment is made of pieces of palm trunks. Front of the house consists of a fence of green trees, with a long trench filled with water but rarely except in the rainy season or when the open fields and irrigation water is flowing circumnavigating the village.
Once the gig until I jumped on the inside, I was well-known agile, maybe a little naughty for the size of a child my age. I was never afraid of anything except the ghost, even tall trees is not my intention to discourage climbing and swinging like a chimpanzee. Especially in karsen or cheery tree in front of the house. Grandma could only shake his head to see my whimsy.
Since childhood I used to ride carts or bicycles, so I'm not so fond of motorized vehicles, often made me dizzy and then carsick. And home visits distant relatives this time require me to ride motorized vehicles, I actually refused to participate but who were living at home because my grandmother also actually be the group leader.
Starting from the front of the station, we are looking for minibuses, low-roofed with a few chairs, hot and decorative fabric tassels around the window actually made me weak and dizzy, because I think instead of adding beautiful, and even make stuffy car so weird, especially with the smell and color of the chair is no longer known, blue, black or gray. May have thousands of people use it and the owner did not have time to clean and replace the seat with another cloth. Matter what they are yet they also never sat in that seat unless the passenger. Already I'm getting grumpy, silent except I had no other choice. Because it is so open-mouth can be directly nausea and vomiting.
I sat with my grandmother near the window, my grandmother had prepared a few pieces of plastic to keep the chance of my vomiting. And oddly enough each time to travel long distances, such as ritual, grandma never missed bringing timbel, dry tempeh and do not forget the hard-boiled chicken eggs. I hate with the latter, especially when in the open skin will release the scent which I think does not smell food, but instead, sorry smelly fart. And in a hot car, stuffy and mixed with the smell of diesel or petrol plus a hard-boiled eggs made me like hell.
Grandma was never concerned with it, even hard-boiled eggs are always offering to come at every meal or I woke up from deep sleep on the way. I sometimes even anger, disgust with the smell. I say there should not eat eggs at cars!, It's up to the outside. But I could not resist when presented with dry rice with tempe lead, because the smell of its leaves make fluffier rice is not only delicious but also. Moreover, rice is taken from the field itself, without pesticides, may now be known as organic rice. Cropping period longer but the results are astounding sound.
The long journey that took many hours, do not ask where because I do not know him at all, just as they neared the goal, I see a stretch of the course consists of grains of soft sand with no grass at all tends to even arid. In a modest house that we stopped in front of any mosque, said her grandmother's house we.
Her home was in Lampung I think, some other little kids running around no matter dizziness, while I still can not afford to walk because of severe dizziness drowsiness effect still felt in the head. I was presented with hot tea, he said to refresh the head, but could not get rid of wind in the stomach still feels queasy abysmally. Children running around, they say behind the house there is a stretch of the sea!. I was curious, but still could not move much, I think I want to see the sea, because in my life I rarely see the sea. Because I'm a child living in the suburbs, not far from the main city street, perhaps About a 1 kilo meter. So I've never seen the sea, at most, a river or broad fields stretching behind the shops at the back of the house.
We can not remember the night whether to stay or not, but we had rested long enough in the house. I do not remember well what then could see the sea or not, because the real attraction is the sea trip. Because of our daily life is to see the fields, rice fields and small woods in the township that when it was like a small forest. The streets are clean and wide with bamboo fences and hedges around the village life adorn the dirt road. Electricity did not even get into the village for a very long time. It was strange to me then that I realized the actual village not far from the railway station rather than have electric lighting, but was never able to send the current down to the village only one block away.
The long journey that is my story first, if allowed to choose I prefer to choose the train, because we can still choose, can sit in the car with the windows open, sitting on a direct rail connection to breathe the fresh air outside, looking at trees and power lines like running around and chasing each other was never tired and quit. Though trains are running hard and the trains leave each pole in place.
Distant relative's house but unfortunately we were not connected with the railway line that inevitably have to choose a landline with a minibus which is very annoying. Until now I do not like traveling by car, unless I bring it yourself, with your own car as well.
I have memories of the trip as the story of my childhood when my grandmother was still living with my brothers away from two people who lived in another town with the maternal grandmother. That's also what makes us, I mean me and my grandmother became very close, even to the great and last time with her in the 1980's
Label
10 tahun tsunami.
(1)
2013
(1)
acehku
(1)
Adikku.
(1)
Aku
(5)
Among-among
(1)
Anak-anak
(1)
Anak-Anak Dikutuk
(1)
Angka ajaib
(1)
aqiqahku
(1)
Ayahku
(1)
babak baru
(1)
bakso
(1)
Barzanji
(1)
batu cincin
(1)
belimbing
(1)
Belut Loch Ness
(1)
Belut Sawah; Mancing Belut
(1)
Bibiku
(2)
bioskop misbar
(1)
birtdhday party
(1)
bisnis keluarga
(1)
busur dan panah
(1)
cafe
(1)
capung
(1)
Celengan bambu
(1)
China's Neighbords
(1)
Cibugel 1979
(1)
Cibugel Sumedang
(2)
cinta bunda
(1)
coffee
(1)
cracker
(1)
Curek; Inflammation
(1)
Dapur nenek
(1)
dejavu
(1)
Dian Kurung
(1)
distant relatives
(1)
Dremolem Or Dream Of Land
(1)
es dogger
(1)
es goyang
(1)
es serut
(1)
Fried Sticky Rice
(1)
Gadis Kecil
(1)
gambar desain
(1)
gambarku
(1)
Gandrung Mangu
(2)
golek;nugget cassava
(1)
harmonika kecilku
(1)
Ibuku
(11)
Ibuku Atau Kakakku?
(1)
Ikan
(2)
ikan dan ular
(1)
iseng
(1)
jalan kolopaking
(2)
Jalan Kusuma
(2)
jangkrik Jaribang Jaliteng
(1)
Jenang Candil
(1)
jogging
(1)
Juadah
(1)
Juz Amma
(1)
kakek dan nenek
(3)
kakekku
(3)
kecelakaan fatal
(2)
kelahiranku
(1)
Kelas Terakhir; the last class
(1)
Kembang api
(1)
kenangan
(1)
Kerupuk Legendar
(1)
kilang padi
(1)
Klapertart Cake
(1)
kolam ikan masjid
(1)
koleksi stiker
(1)
koleksi unik
(1)
koplak dokar dan colt
(1)
kota kecil dan rumahku
(1)
Kue tape
(1)
Kutawinangun
(1)
Lanting
(1)
Lebaran
(1)
little cards
(1)
Loteng rumah
(1)
lotere
(1)
lottery
(1)
mainan anak-umbul
(1)
makan
(1)
makkah
(1)
Malam Jum'at
(1)
Mancing Belut
(1)
masa kecil
(11)
masa kecil.
(1)
masa lalu
(3)
masjid kolopaking
(1)
meatballs
(1)
Mengaji
(1)
menu berbuka
(1)
Mercon
(1)
Minum Dawet
(1)
morning walk
(1)
my
(1)
my birth
(2)
my first notes
(6)
my mom
(4)
my note
(27)
Nama ibuku
(1)
Nenek Sumedang
(1)
new round
(1)
new year
(2)
others notes
(1)
ours home
(1)
padi sawah wetan
(2)
pande besi
(1)
Papan Tulis
(1)
Pasar dan Ibuku
(1)
Penculik dan Bruk
(1)
Pencuri
(1)
Perayaan
(1)
Perjalanan 25 Tahun Bag. Pertama
(1)
personal
(1)
Puasa
(3)
radio transistor
(1)
ramadhan
(1)
Roti dan Meriam Kauman
(1)
Rumah Ban
(1)
Rumah Kakek dan Nenek
(5)
rumah karang sari
(1)
rumah kecil di pojok jalan
(4)
rumah kelinci
(1)
rumah kutawinangun
(1)
Rumah Pojok
(1)
rumahku
(1)
Sarapan Apa Sahur?
(1)
saudara jauh
(1)
sawah utara
(1)
sawah wetan
(2)
SD Kebumen
(1)
Sepeda dan Meteor
(1)
shake es
(1)
shalat jamaah
(1)
sintren
(1)
special note
(1)
Starfruit for Mom
(1)
Stasiun Kereta Api
(2)
Sumedang 1979
(1)
Sungai Lukulo.
(1)
tahun awal
(17)
tahun baru
(1)
Taman Kanak-kanak
(1)
Tampomas I
(1)
tanteku
(2)
Tetangga Cina
(1)
The magic Number
(1)
tradisional
(1)
tsunami 2014
(1)
Ulang tahun
(1)
Visionary grandpa
(1)
Wayang Titi
(1)